Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mohammad Hafid

Pilkades dan Budaya Transaksi Jual Beli Suara

Politik | Wednesday, 16 Feb 2022, 23:11 WIB

Moh. Hafid*

Effendi Wahyono, sejarawan Universitas Terbuka menyebutkan bahwa lembaga otonom tertua di Indonesia adalah pemerintahan desa. Pemimpinnya disebut kepala desa, atau lurah. Proses pemilihannya pun juga sudah semenjak dulu dilakukan secara langsung. Entah kapan awal mula terjadinya secara pasti menurut beliau masih butuh penelitian secara mendalam, namun, hal ini sudah menjadi tradisi yang dipertahankan pemerintah kolonial. (kolom.tempo.co/maharpolitikzamandulu)

Pemilihan langsung sebagai ajang pesta demokrasi tentunya sangat baik. Pasalnya, rakyat bisa dengan mudah memberikan hak pilih suaranya. Asli tanpa harus terwakilkan, kasih saja secara langsung suaranya melalui pencoblosan surat suara yang sudah disiapakan oleh panitia. Dalam hal ini, untuk praktik otonomi dan proses demokrasi sudah membaik. Karena tingkat keikutsertaan masyarakat untuk tingkat pedesaan sudah dianggap tinggi.

Lebih mengejutkan lagi, ternyata praktik jual beli suara atau mahar politik dalam istilah Effendi Wahyono, juga sudah berlangsung mengakar menjadi budaya semenjak lama. Penuturan Effendi, hal ini bisa dibuktikan dengan sorotan koran-koran kolonial abad 19 hingga 20 tentang maraknya praktik-praktik kotor dalam pemilihan kepala desa. Misalnya, tindakan suap menyuap dan jual beli suara agar bisa mendapatkan kekuasaan sebagai kepala desa. (kolom.tempo.co/maharpolitikzamandulu)

Tidak heran jika sampai pada hari ini, transaksi jual beli suara atau mahar politik ini masih mengakar menjadi budaya yang terus dipraktikkan. Bahkan, hal semacam ini sudah tidak lagi menjadi rahasia. Terbuka, transparan dan diketahui oleh semua kalangan. Tiga sampai empat bulan sebelum pemilihan para calon sudah menyusun strategi, tim sukses preman dan menyiapkan berlomba-lomba menyiapkan modal.

Jadinya, dalam masyarakat pedesaan muncul ungkapan; “orang baik tidak berhak menang dalam pemilihan kepala desa. Yang berhak menang adalah calon yang paling banyak memiliki modal untuk mahar politiknya.” Intinya untuk menjadi kepala desa itu gampang, tidak usah jadi orang baik, jadilah miliarder! Sudah cukup. Pasti akan mendapat suara terbanyak. Masyarakat pun sudah diracuni hal demikian, sehingga mereka pada mengerti dan menganggap praktik demikian menjadi sebuah keharusan.

Giri Suprapdiono, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengungkap fakta-fakta transaksi jual beli suara dalam pemilihan kepala desa. Menurutnya, fakta semacam ini masih mengakar dan bahkan semakin berkembang. Karena, kepala desa dan tim suksesnya sudah bisa menawar satu suara dengan kisaran uang jutaan. Misalnya, yang dia temui di desa grobongan dan di daerah sumenep. (sindonews.com/politikuangpilkades)

Penulis sebagai orang pedesaan, sangat mengamini fakta yang disampaikan dimuka. Karena jelas kejadian-kejadian transaksi jual beli suara antar calon sudah sangat memperihatinkan. Tidak hanya penulis menemui kejadian ini, sebagaimana dituturkan sebelumnya, rakyat dan masyarakat pedesaan sudah pada melek semua. Para calon berlomba-lomba melakukan tawar menawar. Calon yang satu memberikan sekian maka calon lainnya pasti akan memberikan harga yang lebih tinggi. Terus demikian hingga berhenti pada gerakan yang bernama serangan fajar.

Sebenarnya praktik jual beli suara atau politik uang ini sebetulnya juga tidak hanya terjadi di pilkades. Ini ironi demokrasi di Indonesia. Burhanudin Muhtadi, menuturkan bahwa politik uang dalam pemilihan-pemilihan umum di Indonesia terjadi semakin masif. Menurut hasil penelitiannya, dari tahun 2003 hingga tahun 2019 praktik politik uang semakin memainkan peranannya dalam sistem demokrasi di Indonesia. (Kuasa Uang: Politik Uang Dalam Pemilu Pasca-Orde Baru,2020)

Faktor, Pengaruh dan Tawaran Solusi Bagi Budaya Transaksi Jual Beli Suara

Tindakan transaksi jual beli suara, sogok menyogok, dan pemberian mahar politik sejatinya adalah bentuk kejahatan luar biasa dalam proses demokrasi. Namun kenapa para calon dan masyarakat menganggapnya sebagai sebuah keharusan dan keniscayaan yang tidak boleh ditinggalkan. Faktornya, sudah bisa ditebak, yaitu adanya persaingan kotor dalam meraih kekuasaan. Disamping itu, tingkat kecerdasan dan kesadaran masyarakat dalam dunia perpolitikan masih sangat rendah. Sementara peraturan yang ada masih dirasa kurang optimal dan kurang maksimal. (kpu-tanjungpenangkota.com/dampakpolitikuang)

Dampak dan pengaruh dari adanya transakasi jual beli suara ini dapat digambarkan dengan jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendeknya, bisa merusak sirkulasi elit lima tahunan yang seharusnya menjadi ajang menghadirkan kedaulatan rakyat. Sedangkan jangka panjangnya, akan ada lingkaran setan korupsi. Karena tentu, mahar politik dan jual beli suara yang dudah dilakukan oleh calon mengakibatkan membengkaknya biaya yang dikeluarkan oleh calon. Logikanya, melihat gaji yang tidak bakal mencukupi, pasti akan fokus pada anggaran-anggara untuk menjadi santapan. (Almas Ghaliya Putri Sjafrina, 2019)

Solusi yang dapat ditawarkan oleh penulis adalah kembali pada srategi akar. Strategi yang dimaksud adalah menyelesaikan masalah tanpa masalah atau menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Strategi ini menurut Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., merupakan model solusi yang tuntas, efektif dan efisien. Karena menurut penilaian beliau, strategi ini dikatakan sebagai bentuk penyelesaian mendasar dan dari dasar, sehingga sangat memberikan dampak yang positif terhadap keberhasilan. (Pemikiran Islam Metodologis, 2015)

Menurut hemat penulis, strategi yang dapat digolongkan sebagai strategi akar dalam menghadapi budaya praktik transaksi jual beli suara dalam pilkades dapat dikemukakan dengan dua strategi akar utama. Pertama, pemerintah harus betul-betul peduli dan perhatian terhadap keberlangsungan pilkades dengan membuat kebijakan yang betul-betul ampuh. Mulai dari regulasi pelaksanaan pilkades, pengawasan yang ketat dan menyiapkan sangsi yang juga bisa bikin jera bagi para pelaku.

Disamping itu, tentu sebagai pengawasan di tingkat desa, Badan Pengawas Desa (BPD) harus dibuat independen dan juga diawasi kinerjanya oleh pemerintah. Karena sesuai dengan pengamatan penulis, BPD selama ini, tak punya peran dan lebih banyak bersekongkol dengan kepala desa. Sehingga tugasnya yang pada mulanya menjadi pengawas malah menjadi kawan perselingkuhan dalam praktik jual beli suara serta penyelewengan anggaran-anggaran desa.

Selama ini, pemerintah sekalipun sudah memberikan regulasi, masih belum memaksimalkan kepedulian dan perhatiannya terhadap praktik jual beli suara. Terkesan, pemerintah juga ikut mengamini pernyataan bahwa untuk menjadi kepala desa harus menyediakan modal yang sangat banyak. Pemerintah belum maksimalkan perhatiannya terhadap kader dan calon yang dianggap baik. Tapi lebih pada calon yang elit dan bermodal sekalipun tidak baik. Jika hal semacam ini terus dibiarkan, tentunya praktik jual beli suara akan terus menjadi budaya yang dapat menghancurkan demokrasi.

Lebih jauh dari itu, pemerintah sama halnya mengajarkan praktik jual beli suara kepada masyarakat jika terus membiarkan menjadi budaya. Tidak ada pengawasan dan juga tidak ada regulasi yang jelas yang bisa bikin jera. Dari itu, pemerintah harus betul-betul hadir dalam hal ini, dengan segala perhatian dan kepeduliannya. Karena jelas akar dan kata kuncinya berada pada pemerintah

Kedua, pendidikan bagi pemilih. Pemilih harus terus diberikan penjelasan dan pengetahuan mengenai bahaya jual beli suara, dampak membengkaknya biaya pemenangan pemilu, dan bahaya dari korupsi. Ilmu ini penting untuk menghadirkan kesadaran pemilih. Meski tidak mudah, langkah-langkah edukasi dan sosialisasi ini penting dilakukan, tidak hanya oleh penyelenggara pemilu, tetapi juga media, masyarakat sipil, dan peserta pemilu itu sendiri. (Almas Ghaliya Putri Sjafrina, 2019)

Dalam hal ini, perguruan tinggi juga harus bisa ikut andil memberikan pencerahan kepada masyarakat. Bentuknya, bisa dengan pemantapan praktik Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Sesuai edaran Kemendikbud, didalamnya ada proyek kemanusiaan dan proyek desa. Perguruan Tinggi bisa bersinergi dengan pemerintahan desa menerjunkan mahasiswanya untuk melakukan praktik MBKM. Mengadakan penyuluhan dan bikin gerakan penyadaran politik hukum di masyarakat.

Selebihnya, mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari desa tertentu juga harus bikin organisasi khusus di desa. Entah apa namanya, yang penting organisasi ini bisa menjadi ladang mahasiswa untuk memperaktikkan statusnya sebagai contol sosial dan agen of change. Sehingga, nantinya kondisi masyarakat desa bisa semakin cerdas, sadar dan berpengetahuan khususnya dalam hal dunia kepemimpinan. Selama, mahasiswa masih terkesan aktif berorganisasi diluar yang tidak begitu bersentuhan langsung dengan tugasnya sebagai control daan agen of change.

Hal ini semua dilakukan dengan satu tujuan, yaitu melakukan penyadaran kepada masyarakat baik yang bertindak sebagai calon atau pun sebagai pemilih. Penyadaran yang dimaksud adalah bagaimana jual beli suara merupakatan bentuk kejahatan luar biasa yang bisa merusak tatanan desa dan menghancurkan demokrasi. Sehingga pemilihan pilkades betul-betul bisa menghasilkan pemimpin terbaik.

Tambahan dari kedua solusi tawaran diatas, adalah bagaimana pemilihan pilkades betul-betul dilaksanakan dengan cara menjungjung tinggi moralitas etika dan pengamalan ajaran agama. Dimana, tidak ada ceritanya dalam moralitas dan dalam agama, bahwa pemilihan untuk menduduki sebuah jabatan dan kekuasaan bisa dilakukan dengan segala cara, termasuk transaksi jual beli suara. Betul, hal demikian bukanlah tindakan yang bermoral dan beragama.

*Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah As Salafiyah STISA Pamekasan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image