Senin 14 Feb 2022 10:13 WIB

Otorita IKN, Organ Khas Pemerintah

Apa posisi otorita dalam hukum ketatanegaraan

Pekerja mengoperasikan alat berat di dekat patok titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Ahad (6/2/2022). Titik nol itu merupakan satu referensi atau patokan untuk menghitung tingkat ketinggian bangunan di atas permukaan laut, Pemerintah pusat melalui Kasatgas Perencanaan Pembangunan Infrastruktur IKN PUPR Imam Santoso Ernawi menyampaikan pembangunan fisik IKN Nusantara akan dimulai pada awal Semester II 2022.
Foto: ANTARA/Bayu Pratama S
Pekerja mengoperasikan alat berat di dekat patok titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Ahad (6/2/2022). Titik nol itu merupakan satu referensi atau patokan untuk menghitung tingkat ketinggian bangunan di atas permukaan laut, Pemerintah pusat melalui Kasatgas Perencanaan Pembangunan Infrastruktur IKN PUPR Imam Santoso Ernawi menyampaikan pembangunan fisik IKN Nusantara akan dimulai pada awal Semester II 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum***

 Terminologi Otorita, mendadak muncul dipanggung politik dan hukum tata negara mutakhir, yang dengan sejumlah alasan praktis terlihat eksplosif. Tensinya terus bergerak naik. Menariknya, gerak naik itu tidak disebabkan oleh terminologi itu, tetapi hal lain, yang tidak seorang pun dapat mengingkarinya, yaitu pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Romantisasi Jakarta dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara, andai hal itu hendak disodorkan dan disajikan di meja diskusi politik, tak mungkin bisa diremehkan. Suka atau tidak, di Jakartalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilangsungkan. Jakarta pulalah, untuk pertama kalinya pemerintahan nasional dibentuk dan bekerja. 

Tidak lama, karena untuk alasan keamanan, pemerintahan nasional yang baru berumur 3 (tiga) bulan, terhitung untuk pertama kalinya bekerja sejak tanggal 2 September  Presiden Sukarno membentuk kabinetnya. Kabinet ini bekerja pada tanggal 5 September 1945. Menariknya pemerintahan presidensial ini berumur pendek. 

Politik, bukan hukum, berbicara dengan cara yang tidak banyak orang dapat mengenal esensinya. Indonesia telah merdeka dan orang-orang yang tadinya kritis terhadap kemerdekaan yang diproklamasikan itu, juga ikut menyelenggarakan pemerintahan. Entah begitulah begitu politisi atau hal lain, beberapa diantara mereka masih  terus ditindas oleh keraguan terhadap cara kemerdekaan diproklamasikan. 

Bikinan Jepang, begitulah mereka yang ditindas keraguan tentang proklamasi kemerdekaan, membayangkan akan menjadi penilaian sekutu terhadap kemerdekaan itu. Bagi mereka, penilaian semacam, ini harus dicegah. Apalagi disisi lain, dunia telah dikendalikan Barat, dengan Amerika dan Inggris berada di front terdepannya.

Amerika dan Inggris, dua kampiun demokrasi, yang telah membuat Hitler dan Musolini bertekuk lutut, sedang terbakar gairah memastikan negara-negara di dunia  mencampakan totalitarisme ala Hitler dan fasisme ala Jepang. Amerika, dengan Presidennya Harry Truman, terkenal dengan taktik dan visi politik yang cermat, menempatkan kebebasan sebagai cara mewujudkan keadilan. Dalam keyakinannya, keadilan  hanya bisa diwujudkan sejauh demokrasi tumbuh di negara-negara baru.     

Berbagi tugas atau kalkulasi efisiensi, menjelang akhir September 1945, bukan Amerika, tetapi Inggris, sekutunya yang produktif, mendarat di Indonesia. Jepang harus dipastikan menyerah total, tidak eksis dan harus tunduk pada kendali sekutu, menjadi memandu mereka memasuki Indonesia pada bulan September itu.

Campuran faktor-faktor itu menghasilkan perubahan postur bentuk pemerintahan nasional Indonesia. Pemerintahan  presidensial yang dipimpin Bung Karno berakhir pada tanggal 13 November 1945. Pada 14 November 1945 pemerintahan Bung Karno diganti oleh pemerintahan parlementer dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menterinya.

Pemerintahan ini Sjahrir diselenggarakan di Jakarta. Tapi tak lama. Tanggal 6 Januari  1946, pemerintahan ini dipindahkan begitu saja, tanpa perintah UU,  ke Yogyakarta. Menariknya, Sutan Sjahrir tetap berada di Jakarta, tanpa menteri-menterinya. Bung Karno, Bung Hatta dan menteri-menterinya pindah ke Yogyakarta. 

Tahun 1949, untuk alasan politik......

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement