Kamis 10 Feb 2022 23:26 WIB

MUI Menolak Uji Materi UU Perkawinan, Ini Penjelasannya

UU perkawinan digugat oleh pria asal Papua ke MK terkait penikahan beda agama.

Rep: Muhyiddin/ Red: Ilham Tirta
Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi diterimanya judicial review (uji terima) yang dilayangkan oleh pria asal Papua, bernama E Ramos Petege, terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Buya Amirsyah Tambunan menolak uji materil terhadap UU tersebut.

Menurut Amirsyah, nikah beda agama bertentangan dengan konsitusi karena adanya jaminan, kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Gugatan yang dilayangkan oleh E Ramos Petege ke MK memang hak konstitusional bagi setiap warga negara. Namun, Amirsyah juga memiliki hak konstitusi untuk menolak uji materil terhadap UU tersebut.

Baca Juga

“Apa yang disampaikan pria bernama E Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua melayangkan uji materi terhadap Undang-Undang No 16 Tahun 19 merupakan hak konstitusi sebagai warga negara,” ujar Amirsyah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/2).

Secara yuridis, kata dia, berdasarkan UU No 1 Tahun 1974 sebagaimana diubah menjadi UU No 16 Tahun 2019 telah ditegaskan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Karena itu, tujuan membentuk keluarga atau jalinan rumah tangga antara pasangan suami istri yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana agamanya.

Buya Amirsyah juga mengatakan, perkawinan sesuai dengan falsafah Pancasila bercita-cita untuk pembinaan rumah tangga yang tenang, bahagia, dan kasih sayang atau dalam Islam dikenal sebagai sakinah, mawaddah, dan warahmah. Sementara itu, perbedaan agama dengan pasangan yang beragama Muslim dan Non-Muslim jelas bertentangan dengan UU Perkawinan.

“Karena itu, fakta yang terjadi, ketika pernikahan beda agama antara mempelai pria dan wanita tidak berlangsung lama. Karena salah satu fakta bahwa berbeda keyakinan membuat gagalnya rumah tangga,” kata Amirsyah.

Dengan demikian, sudah tepat adanya aturan syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam UU ini, dikatakan suatu perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, dan setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Amirsyah, hal itu sangat diperlukan karena pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. “Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan,” kata Amirsyah.

Dia pun mengutip Surat Al Baqarah ayat 221 sebagai salah satu dasarnya. Menurut dia, ayat ini jelas melarang pasangan suami-istri menikahi beda agama, baik wanita non-Muslim atau sebaliknya laki-laki non-Muslim. “Karena pernikahan itu merupakan bagian dari ibadah dalam ajaran Islam,” jelas dia.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement