Selasa 08 Feb 2022 05:09 WIB

Pemerintah Diminta Bentuk Satgas Atasi Kelangkaan Pupuk Bersubsidi

Data kebutuhan pupuk bersubsidi harus diperbaiki agar distribusinya benar.

Petani menebar pupuk NPK di area persawahan Gamping , Sleman, Yogyakarta, Kamis (13/1). Menurut PT Pupuk Indonesia stok pupuk bersubsidi pada awal 2022 mencapai 1,13 juta ton. Dengan rincian pupuk Urea 512 ribu ton, NPK 305 ribu ton, SP-36 103 ribu ton, ZA 135 ribu ton, dan Organik 80 ribu ton.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Petani menebar pupuk NPK di area persawahan Gamping , Sleman, Yogyakarta, Kamis (13/1). Menurut PT Pupuk Indonesia stok pupuk bersubsidi pada awal 2022 mencapai 1,13 juta ton. Dengan rincian pupuk Urea 512 ribu ton, NPK 305 ribu ton, SP-36 103 ribu ton, ZA 135 ribu ton, dan Organik 80 ribu ton.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI Ono Surono mengusulkan agar pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengawasi kelangkaan pupuk subsidi yang terjadi belakangan ini. Menurut Surono urusan pupuk bersubsidi memang kacau.

"Dalam pengawasan pun, tidak bisa dilakukan oleh satu instansi pemerintah saja. Pengawasan memerlukan satuan tugas khusus yang dibentuk secara bersama-sama dengan menggabungkan berbagai instansi terkait," kata Ono Surono dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/2/2022).

Baca Juga

Dengan pembentukan satgas ini, lanjut Ono yang merupakan anggota Komisi IV, supply chain (rantai pasokan) benar-benar tepat sasaran. "Pengawasan itu bisa melibatkan Kementan, dinas pertanian provinsi, dinas pertanian kabupaten/kota, camat, kepala desa, gapoktan, dan APK. Buat saja semacam Satgas Pupuk atau Task Force Pupuk," katanya.

Surono mengaku tidak heran dengan terjadinya kelangkaan pupuk subsidi yang terjadi belakangan ini karena data tentang penyediaan dan distribusi pupuk subsidi sejak awal sudah bermasalah. Selama ini, kata dia, tata niaga pupuk memang kacau.

Berawal dari elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) yang jumlahnya bisa 2,5 kali lipat dari yang disiapkan oleh Pemerintah sehingga pada akhirnya petani yang berhak tidak mendapatkan pupuk. Pernyataan Surono ini setidaknya mengacu pada RDKK 2020, terdapat sekitar 13,9 juta petani yang mengusulkan pupuk.

Politikus PDI Perjuangan ini menyebutkan jumlah yang mereka usulkan mencapai 26,2 juta ton. Namun, Pemerintah hanya memenuhi kebutuhan mereka sebesar 8,9 juta ton.

Kondisi ini, kata dia, membuat distribusi pupuk tidak berjalan efektif, kemudian mekanisme pasar mengendalikan harga pupuk. Ia mengutarakan kondisi itu menyebabkan banyak data, terutama nama petani yang sudah terdapat dalam RDKK tidak mendapatkan pupuk.

Hal ini selanjutnya berimbas pada masalah akurasi data dalam penyaluran pupuk subsidi. Titik kelemahan sampai terjadi kelangkaan pupuk subsidi ini, menurut Surono, berawal dari data, kemudian oknum-oknum, mulai dari agen sampai distributor yang akhirnya menyalurkan pupuk tidak berdasar pada data yang ada.

Oleh karena itu, lanjut dia, solusi yang harus diperbaiki oleh Pemerintah adalah validitas data kebutuhan pupuk. Data tersebut harus valid, termasuk petani yang berhak menerimanya.

"Yang pertama, harus diperbaiki data kebutuhan pupuknya. Pemerintah harus konsisten untuk membuat data yang valid," ujarnya.

Dengan demikian, tidak ada lagi petani yang harusnya tidak mendapatkan secara aturan, tetapi praktiknya mereka mendapatkan, atau sebaliknya, petani yang berhak tetapi mereka tidak mendapatkan. Setelah data penerima benar-benar valid dan akurat, kata dia, anggaran yang dipersiapkan oleh Pemerintah juga harus cukup dan sesuai dengan data yang diajukan.

"Jadi, yang kedua, setelah data itu benar, siapkan anggaran yang cukup untuk penuhi kebutuhan pupuk itu," katanya. Selanjutnya, ketiga adalah pengawasan yang ketat terhadap distributor dan agen atau kios.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement