Jumat 04 Feb 2022 19:34 WIB

Nalar Publik yang Mengalami Kemunduran

Kemunduran nalar publik salah satunya disebabkan karena ketakutan.

 Diskusi bertajuk
Foto: istimewa/tangkapan layar
Diskusi bertajuk

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said menyebut adanya kemunduran nalar publik. Kemunduran ini disebabkan salah satunya karena mundurnya keberanian dan daya kritis yang juga menurun.

Persoalan kemunduran nalar publik ini, muncul dalam diskusi bertajuk 'Nalar Publik Barang Langka?' yang digelar oleh survei KedaiKOPI, Jumat (4/2/2022).  "Kemundaran nalar kita bersama walaupun secara pemikiran merasa tidak mundur, tetapi secara kolektif keberanian dan daya kritis sudah menurun,” kata Sudirman.

Dipaparkannya, ia dulu dengan naif berpikir, setelah di luar pemerintahan ia akan terus menulis menyampaikan pemikiran, bukan memusuhi tapi menjaga. Tapi dengan adanya tekanan-tekanan membuat Sudirman berpikir yang paling simple, dengan cara mengambil jalan tengah yang paling halus di bidang-bidang kemanusian. "Terus terang itu didasari oleh rasa cemas juga,” ungkapnya.

Sudirman mengatakan hal itu merupakan kemunduran bersama. "Kalau disebut kemunduran bersama itu, orang mengkritik kenapa pemerintah kuat DPR dikontrol?. Ya kenapa DPR-nya mundur, parpol-nya mundur, kenapa mau dikontrol. Kemudian disebut cipil society mengalami kemunduran, ya kenapa mau dilemahkan?. Padahal kalau kita berfikir keseluruhan harusnya memberikan peran terbaik,” paparnya.

Terkait dengan hasil diskusi akademisi Jakarta, Sudirman mengatakan isu ini harus digelindingkan bersama. Sehingga membangkitkan kesadaran dari semua pihak. Bukan dengan maksud melawan pemerintah, karena ini bukan salah siapa-siapa, termasuk kesalahan pemerintah. “Tidak fair kalau ditimpakan pada pemerintah,” kata Sudirman.

Ia menyinggung tulisan Bung Hatta, yang terkai dengan tugas kaum terdidik untuk terus menerus membimbing jalannya masyarakat. Baik ketika dalam struktur pemerintah ataupun tidak. “Saya sangat senang ini (rumusan diskusi para akademisi Jakarta dan budayawan)  berasal dari kalangan budayawan senior, yang jika dilihat sudah selesai dengan diri sendiri. Orang yang tidak punya kepentingan-kepentingan pribadi,” ungkapnya.

Budayawan Seno Gumirah Ajidarma mengatakan persoalan kemunduran nalar adalah kemunduran bersama.  Banyak orang merasa tidak baik-baik saja, tetapi tidak berani bicara. Bahkan berani bicara jika sekiranya tidak bertentangan, atas nama sopan santun. “Semua mengalaminya. Ini gejala yang tidak bagus,” kata Seno.

Kemunduran nalar ini, menurut Seno, bukan berarti kemampuan berpikir argumentatif yang mundur, tetapi keberanian untuk bersikap. “Meskipun alasannya kuat, misalnya keselamatan keluarga. Tapi cara berpikir itu (untuk tidak berani, Red)  bagian dari kemunduran,” kata dia.

Karena kondisi ini, hal yang bisa dilakukan adalah bergerilya. "Dalam ketakutan itu berbisiklah. Tetap ada kata-kata, tetap ada ide,” ungkap budayawan tersebut.

Menurut Seno, orde baru bisa berkuasa karena memunculkan ketakutan di kalangan kelas menengah ke atas. “Padahal ketika Mei (orde baru) turun juga. Karena yang berdemonstrasi adalah anak muda yang tidak kenal takut. Mereka asyik saja,” papar Seno.

Pendiri KedaiKOPI, Hendri Satrio mengatakan, ada kebiasaan yang tidak bagus di negara ini, yaitu kebiasaan lapor melapor. “Saya menolak disebut kemunduran bersama, Kadang kalau kita berfikir nalar sehat itu, kalau saya lapor kemudian dilaporkan masuk penjara, setelah itu kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Kebiasaan kapor melaporkan ini, menurut Hendri, membuat masyarakat ‘cari selamat’.

Saat ini, kata Hendri, tidak mudah untuk berbicara kritis. Hendri menggatakan tidak ingin berfikir mundur, tapi keadaan yang membuatnya mundur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement