Jumat 04 Feb 2022 11:25 WIB

Buat Petisi, YLKI Minta KPPU Usut Dugaan Kartel Minyak Goreng

Harga minyak goreng di pasar tradisional masih di atas HET.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nidia Zuraya
Stok minyak goreng kosong di salah satu ritel wilayah Kota Malang, Kamis (3/2/2022).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Stok minyak goreng kosong di salah satu ritel wilayah Kota Malang, Kamis (3/2/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) membuat petisi kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dugaan kartel minyak goreng (migor). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan saat ini KPPU juga sudah mengungkapkan adanya dugaan empat perusahaan yang menguasai perdagangan minyak goreng di Indonesia.

"Untuk itulah, lewat petisi ini kami meminta agar KPPU segera mengusut sampai tuntas dugaan kartel minyak goreng ini sebagaimana dimandatkatkan oleh Undang-undang Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat," kata Tulus, Jumat (4/2/2022). 

Baca Juga

Jika dugaan tersebut terbukti, Tulus meminta KPPU dan pemerintah tegas dalam memberikan sanksi hukum perdata, pidana, dan administrasi.  Dia menuturkan, pemerintah tidak boleh segan segan untuk mencabut izin ekspor perusahan yang terlibat.

"Ini supaya bisa memprioritaskan konsumsi domestik atau bahkan mencabut izin usahanya," ujar Tulus. 

Terlebih saat ini, stok minyak goreng di minimarket masih terpantau kosong. Sementara yang terjadi di pasar tradisional, harga minyak melambung tinggi sekali.

"Kenapa bisa, negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia tapi masyarakatnya tidak bisa membeli minyak goreng sawit dengan harga yang lebih terjangkau dan tidak ada gangguan pasokan," ungkap Tulus. 

Untuk itu dugaan kartel minyak goreng menurutnya perlu diusut tuntas karena sebuah praktik usaha tidak sehat menyebabkan harga minyak goreng jadi tinggi sekali. Struktur pasar minyak goreng terdistorsi oleh para pedagang besar CPO dan minyak goreng.

"Bukan tidak mungkin, keempat perusahaan ini melakukan praktik kartel dan bersekongkol menentukan harga bersama supaya harga minyak goreng jadi mahal sekali. Walaupun ini masih dugaan, tetapi fenomena di pasar mengindikasikan dengan kuat," jelas Tulus. 

Tulus menegaskan masyarakat sebagain konsumen tidak bisa dibiarlan kesulitan mendapatkan minyak goreng. Terutama bagi yang menjalankan usaha dan untuk keperluan domestik rumah tangga. 

KPPU mulai memanggil pemain besar perusahaan minyak goreng untuk dimintai keterangan terkait adanya dugaan kartel produk minyak goreng pada Jumat (4/2/2022). KPPU menemukan empat pemain besar yang diduga terlibat kartel.

"Kita menemukan empat pemain besarnya. Nah, perusahaan-perusahaan tersebut oleh KPPU akan dipanggil terkait indikasi kartel," kata Ketua KPPU Ukay Karyadi pada diskusi publik yang digelar Institut for Development of Economics and Finance (Indef) secara virtual, Kamis (3/2/2022).

Ukay memaparkan alasan adanya indikasi kartel terkait melonjaknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu, dengan menyebut terdapat sinyal-sinyal praktik kartel. Jadi, lanjut Ukay, ketika ada kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), maka situasi tersebut dijadikan momentum untuk pelaku usaha minyak goreng pada perusahaan besar untuk menaikkan harga.

Menurut Ukay, yang menjadi perhatian KPPU adalah selain pabrik minyak goreng tersebut terintegrasi dengan kebun sawit milik mereka sendiri, perusahaan-perusahaan tersebut juga menaikkan harga jual secara bersamaan. Padahal, lanjut Ukay, jika terjadi kenaikan di produk minyak goreng PT A (misalnya), maka PT B akan mengambil alih pasar PT A dengan tidak ikut menaikkan harga.

Namun yang terjadi justru para pemain besar minyak goreng tersebut menaikkan harga secara kompak. "Nah, ketika kenaikan ini terjadi, pemerintah sampai harus turun tangan mengintervensi harga dengan kebijakan satu harga di level Rp 14 ribu per liter dan terbukti tidak efektif. Sehingga merubah lagi kebijakan dengan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO)," ungkap Ukay.

Dengan demikian, Ukay mengatakan bahwa KPPU melihat adanya praktik oligopoli, sehingga intervensi yang dilakukan di hilir dinilai kurang efektif tanpa pembenahan struktur industrinya dari hulu. "Tentunya intervensi pasar di hilir tanpa membenahi struktur industrinya menjadi kurang efektif, karena posisi tahap awalnya ada di perusahaan-perusahaan besar tersebut," ujar Ukay.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement