Jumat 04 Feb 2022 02:12 WIB

Hari Ini KPPU Panggil Perusahaan Minyak Terkait Dugaan Kartel

Indikasi kartel muncul dari melonjaknya harga minyak goreng.

Stok minyak goreng kosong di salah satu ritel wilayah Kota Malang, Kamis (3/2/2022).
Foto: Republika/Wilda Fizriyani
Stok minyak goreng kosong di salah satu ritel wilayah Kota Malang, Kamis (3/2/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai memanggil pemain besar perusahaan minyak goreng untuk dimintai keterangan terkait adanya dugaan kartel produk minyak goreng pada Jumat (4/2/2022). KPPU menemukan empat pemain besar yang diduga terlibat kartel.

"Kita menemukan empat pemain besarnya. Nah, perusahaan-perusahaan tersebut oleh KPPU akan dipanggil terkait indikasi kartel," kata Ketua KPPU Ukay Karyadi pada diskusi publik yang digelar Institut for Development of Economics and Finance (Indef) secara virtual, Kamis (3/2/2022).

Baca Juga

Ukay memaparkan alasan adanya indikasi kartel terkait melonjaknya harga minyak goreng beberapa waktu lalu, dengan menyebut terdapat sinyal-sinyal praktik kartel. Jadi, lanjut Ukay, ketika ada kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO), maka situasi tersebut dijadikan momentum untuk pelaku usaha minyak goreng pada perusahaan besar untuk menaikkan harga.

Padahal seharusnya mereka yang pabriknya terintegrasi secara vertikal dengan kebun sawit, mendapat pasokan dari kebunnya sendiri. "Di hulunya mereka menguasai, di hilirnya mereka menguasai. Tapi, mereka tetap mengacu pada harga internasional. Hal ini karena mereka yakin, kalaupun harga minyak gorengnya dinaikkan, mereka akan tetap laku di pasaran karena permintaan terhadap minyak goreng ini cenderung elastis," ujar Ukay.

Menurut Ukay, yang menjadi perhatian KPPU adalah selain pabrik minyak goreng tersebut terintegrasi dengan kebun sawit milik mereka sendiri, perusahaan-perusahaan tersebut juga menaikkan harga jual secara bersamaan. Padahal, lanjut Ukay, jika terjadi kenaikan di produk minyak goreng PT A (misalnya), maka PT B akan mengambil alih pasar PT A dengan tidak ikut menaikkan harga.

Namun yang terjadi justru para pemain besar minyak goreng tersebut menaikkan harga secara kompak. "Nah, ketika kenaikan ini terjadi, pemerintah sampai harus turun tangan mengintervensi harga dengan kebijakan satu harga di level Rp 14 ribu per liter dan terbukti tidak efektif. Sehingga merubah lagi kebijakan dengan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO)," ungkap Ukay.

Dengan demikian, Ukay mengatakan bahwa KPPU melihat adanya praktik oligopoli, sehingga intervensi yang dilakukan di hilir dinilai kurang efektif tanpa pembenahan struktur industrinya dari hulu. "Tentunya intervensi pasar di hilir tanpa membenahi struktur industrinya menjadi kurang efektif, karena posisi tahap awalnya ada di perusahaan-perusahaan besar tersebut," ujar Ukay.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement