Rabu 02 Feb 2022 17:59 WIB

Konsep BIGS untuk Menjawab Paradoks Penerbangan Nasional

Konsep BIGS diterapkan untuk membantu meningkatkan bisnis penerbangan nasional.

Agoes Soebagio dinyatakan lulus sebagai Doktor dengan predikat cumlaude dan merupakan doktor ke 560 dari FEB Universitas Trisakti.
Foto: Istimewa
Agoes Soebagio dinyatakan lulus sebagai Doktor dengan predikat cumlaude dan merupakan doktor ke 560 dari FEB Universitas Trisakti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu (2/2/2022) kembali melakukan sidang terbuka program Doktoral Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Bisnis dengan promovendus Agoes Soebagio dan dilaksanakan secara daring (online) dengan media zoom. Agoes Soebagio dinyatakan lulus sebagai Doktor dengan predikat cumlaude dan merupakan doktor ke 560 dari FEB Universitas Trisakti.

Sebagai promotor promovendus adalah Prof H Muhammad Zilal Hamzah PhD dan Co-promotor Dr Eleonora Sofilda MSi. Sedangkan tim penguji terdiri dari Dr Yolanda Masnita Siagian MM CIRR sebagai ketua, dan anggota terdiri dari Prof Dr Bambang Soedaryono AK MBA; Prof. Sri Susilowati PhD; Dr Cris Kuntadi SE MM CA CPA QIA Ak; Prof Dr Ir Dwisuryo Indroyono Soesilo Msc; dan Prof Dr Nur Azura Sanusi sebagai external examiner dari Universiti Malaysia Terengganu.

Agoes Soebagio yang juga merupakan Kepala Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah VI Padang melakukan penelitian disertasi dengan judul: “Kebijakan Bisnis Maskapai Penerbangan Berjadwal Nasional: Menjaga Keseimbangan Aspek Keselamatan Dan Komersial Penerbangan.” 

"Kesimpulan dari penelitian disertasi tersebut di antaranya adalah bahwa penerbangan nasional memerlukan kebijakan bisnis yang bersifat dinamis dan dapat direlaksasi dengan situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat, seperti misalnya saat terjadi pandemi Covid-19 seperti saat ini," kata Agoes dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Rabu (2/2). 

Beberapa kebijakan yang dapat direlaksasi misalnya kebijakan tarif yang dikaitkan dengan penyederhanaan jenis layanan maskapai dari tiga layanan yaitu full service, medium dan no frill menjadi hanya dua yaitu full service dan no frill. Medium service dapat dilayani oleh full service yg menurunkan layanan atau no frill yang menambah layanan. Dengan kebijakan tersebut,  dapat dihindari terjadinya perang tarif (predatory pricing).

 

photo
Sidang terbuka program Doktoral Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Bisnis dengan promovendus Agoes Soebagio dan dilaksanakan secara daring (online) dengan media zoom. - (Istimewa)

 

Selain itu, juga diperlukan kebijakan untuk mengetahui tingkat kesehatan finansial maskapai penerbangan dengan indikator-indikator yang dibuat oleh regulator. Sehingga, dapat dilakukan deteksi dini untuk menyehatkan finansial maskapai penerbangan tersebut dan memberikan layanan yang lebih baik pada masyarakat. 

Di sisi lain, kata Agoes, persepsi keselamatan penerbangan dari penumpang pesawat Indonesia masih rendah. Penumpang menganggap bahwa keselamatan penerbangan adalah tanggung jawab maskapai dan pemerintah sehingga merasa tidak perlu mengetahui keselamatan penerbangan lebih jauh. 

"Penumpang masih menjadikan harga tiket sebagai faktor penentu dalam memilih maskapai dibanding faktor keselamatan dan layanan," ujarnya. 

Untuk itu, kata dia, diperlukan komunikasi publik yang intensif, fokus, dan kolaboratif antara regulator dan operator agar implementasi kebijakan publik bisnis penerbangan dapat terealisasi dengan baik dan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Dan juga agar masyarakat semakin menyadari pentingnya keselamatan dan layanan dari maskapai penerbangan. 

Hasil penelitian tersebut didapat Agoes setelah melakukan penelitian dengan metode kuantitatif dan kualitatif dengan tiga perspektif yaitu perspektif konsumen, perspektif operator dan perspektif regulator selama kurang lebih 4 bulan yaitu April – Juli 2021. 

Narasumber penelitian adalah 619 penumpang pesawat udara dari 5 maskapai yaitu Garuda, Lion Air, Batik Air, Citilink, Sriwijaya dan Indonesia Air Asia di 5 bandara  yaitu Bandara Soekarno Hatta, Bandara Juanda, Bandara Sultan Hasanuddin, Bandara Kualanamu dan Bandara Internasional Minangkabau. 

Selain itu Agoes juga melakukan wawancara mendalam dengan regulator yaitu Direktorat Jenderal Perhubungan Udara; operator yang terdiri dari maskapai, MRO, bandara; asosiasi penerbangan seperti INACA dan IATA; serta stakeholder lain dan para ahli penerbangan nasional. 

Dari hasil wawancara dapat disimpulkan terdapat 5 faktor utama yang menjadi faktor penentu untuk keberlanjutan pada industri penerbangan, yaitu:  pertama faktor dukungan kebijakan dari regulator; kedua faktor peranan stakeholder; ketiga perlunya regulasi mengenai tarif; keempat perlunya pengawasan finansial dan menyadari aspek keuangan menjadi penentu terhadap keberlanjutan industri penerbangan; dan kelima menghindari perang tarif (bisa menimbulkan predatory pricing). 

Menurut Agoes, selama kurun waktu tahun 2015-2019, terjadi paradoks dalam penerbangan nasional. Paradoks tersebut adalah meningkatnya keselamatan penerbangan maskapai penerbangan dengan ditandai meningkatknya hasil audit USOAP dari ICAO pada tahun 2017 di mana hasilnya mencapai 80,34 persen, melebihi rata-rata internasional yaitu 60 persen. Juga kembali dinaikkannya kategori keselamatan Indonesia oleh otoritas penerbangan AS dari kategori 2 menjadi kategori 1 di tahun 2016, dan dihentikannya larangan terbang maskapai Indonesia oleh Uni Eropa tahun 2018. 

Di sisi lain, bisnis maskapai pada periode tersebut justru merugi yang dapat dilihat dari laporan keuangan Garuda Indonesia dan Indonesia AirAsia, pernyataan terbuka Sriwijaya Air terkait hutang yang besar pada beberapa pihak, serta kebijakan mayoritas maskapai menaikkan harga tiket pada tahun 2019  untuk memperbaiki cash flow maskapai. 

“Padahal, seharusnya antara keselamatan dan bisnis harus seimbang. Bahkan agar maskapai dapat hidup berkelanjutan, pendapatan  dari bisnis penerbangan harus lebih besar sehingga dapat menutupi biaya yang dikeluarkan maskapai untuk menjamin keselamatan penerbangan,” ujar Agoes. 

Kondisi finansial selama kurun waktu tersebut sangat mempengaruhi kondisi bisnis maskapai nasional selama masa pandemi dari tahun 2020 hingga saat ini. “Konsep BIGS dapat diterapkan untuk membantu meningkatkan bisnis penerbangan nasional. BIGS yaitu business (iklim bisnis), inovative (inovasi), growth (pertumbuhan), sustainability (berkelanjutan) dilaksanakan secara bertahap,” lanjut Agoes. 

Pertama  dengan memperbaiki iklim bisnis melalui kebijakan publik dan aturan penerbangan yang  melibatkan regulator dan operator. Dari iklim bisnis yang baik dapat dilakukan inovasi kebijakan dari regulator dan inovasi manajerial dari maskapai melalui strategi bisnis  sehingga bisa tetap bertahan di terhadap situasi dan kondisi yang terjadi seperti misalnya pada masa pandemi covid-19 saat ini. 

Iklim bisnis yang baik dan inovasi tanpa henti akan menimbulkan pertumbuhan (growth) baik dari sisi penawaran (supply) dari operator dan permintaan (demand) dari masyarakat. Dan pada akhirnya akan membuat operasional penerbangan  lancar, berkelanjutan (sustainability) dan dapat dinikmati semua pihak baik itu regulator, operator maupun masyarakat. 

Hasil penelitian diharapkan dapat membantu maskapai penerbangan nasional untuk tumbuh berkembang berkelanjutan dan memberikan layanan terbaik pada masyarakat serta dapat ikut menumbuhkan perekonomian nasional. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement