Selasa 01 Feb 2022 10:24 WIB

Junta Myanmar Harus Jadi Bagian dari Pembicaraan Damai

Junta Myanmar memiliki peran, tetapi mereka bukan pemerintah yang sah saat ini.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Friska Yolandha
Seorang fotografer dengan rompi pelindung merekam aksi protes antimiliter yang dibubarkan dengan gas air mata di Yangon, Myanmar, 3 Maret 2021.
Foto: AP Photo
Seorang fotografer dengan rompi pelindung merekam aksi protes antimiliter yang dibubarkan dengan gas air mata di Yangon, Myanmar, 3 Maret 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Utusan khusus PBB untuk Myanmar Noeleen Heyzer menilai junta tidak dapat diabaikan begitu saja dari proses perdamaian negara tersebut. Menurutnya junta tetap harus diikutsertakan dalam pembicaraan damai namun solusi perdamaian tidak dapat dipimpin oleh mereka.

"Militer, ketika saya mengatakan bahwa mereka tidak sah, itu tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki peran. Mereka memiliki peran yang sah. Tapi mereka bukan pemerintah yang sah saat ini," kata Heyzer, mantan wakil Sekretaris Jenderal PBB yang ditunjuk sebagai utusan khusus untuk Myanmar beberapa minggu lalu, dikutip laman Channel News Asia, Selasa (1/2/2022).

Baca Juga

Komentar Heyzer dikatakan usai Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) bersikeras bahwa militer harus dikecualikan dari setiap pembicaraan tentang masa depan negara. Satu tahun usai perebutan kekuasaan militer Myanmar, lebih dari 1.400 orang telah tewas dan setidaknya 12 ribu lainnya dipenjara.

Dalam krisis politik negara itu, timbul juga peningkatan kelaparan dan kemiskinan karena meningkatnya kekerasan junta telah menyebabkan penutupan banyak bisnis dan pabrik. Pada Desember, Dewan Keamanan PBB mengutuk pembunuhan yang dilaporkan terhadap sedikitnya 35 orang, termasuk empat anak-anak dan anggota staf organisasi kemanusiaan Save the Children di negara bagian Kayah timur.

"Pembunuhan itu bahkan akan bertambah buruk, kecuali kita menemukan cara untuk benar-benar menghentikannya," kata Heyzer, pada malam peringatan satu tahun kudeta 1 Februari.

Namun demikian Heyzer juga menekankan bahwa meski militer harus menjadi bagian dari proses perdamaian yang akan datang, junta tidak dapat menjadi kekuatan yang memimpin proses tersebut ke depannya. Ia mendesak aktivis pemuda yang memprotes Tatmadaw atau junta untuk memoderasi sikap dan pemikiran mereka dalam jangka panjang.

"Saya tahu bahwa banyak anak muda, terutama kaum muda, mereka rela mati berjuang untuk transformasi politik total," katanya.

"Setiap transformasi politik membutuhkan proses dan itu tidak akan terjadi dalam semalam. Dan karena itu, saya ingin mereka memiliki sesuatu untuk hidup, bukan untuk mati,"ujarnya menambahkan.

Saat pertama kali menjabat secara resmi empat pekan lalu, Heyzer mendorong gencatan senjata penuh di Myanmar. Namun sebagian besar dietepis baik oleh junta maupun aktivis pro-demokrasi, beberapa di antaranya berpendapat bahwa warga sipil yang melindungi diri mereka dari ditembak adalah pertahanan diri yang sah.

Krisis kemanusiaan di Myanmar menurutnya salah satu langkah pertama yang penting untuk menghentikan kekerasan, bukan justru memperparah kekerasan yang ada. "Orang-orang yang terjebak dalam konflik ini sayangnya adalah warga sipil dan saya melihat angka-angka yang ada di hadapan saya: 25 juta orang di Myanmar kini telah jatuh ke dalam kemiskinan; 14,4 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement