Senin 31 Jan 2022 19:47 WIB

Kemenhub Respons Analisis Hikmahanto Soal Perjanjian FIR Indonesia-Singapura

Menurut Kemenhub, jalan negosiasi untuk menyesuaikan FIR ini bukanlah jalan mudah.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Andri Saubani
Juri Bicara Kemenhub Adita Irawati.
Foto: Antara
Juri Bicara Kemenhub Adita Irawati.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan menanggapi komentar pakar hukum internasional Profesor Hikmahanto Juwana mengenai perjanjian Flight Information Region (FIR), Indonesia Singapura (RI-SING) yang disepakati Presiden Joko Widodo dan PM Lee Hsien Loong di Bintan, Selasa (25/1/2022). Juru Bicara Kementerian Perhubungan RI, Adita Irawati menjelaskan perjanjian FIR yang ditandatangani oleh Menteri Perhubungan RI dan Menteri Transportasi Singapura merupakan pengaturan atas sebagian wilayah ruang udara Indonesia, warisan jajahan Inggris yang dilanjutkan Singapura.

Sehingga, menurut Adita, pengaturan wilayah udara Kepulauan Riau (Kepri) oleh Singapura tersebut, jelas dia, sudah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka. Kemudian, ketika Indonesia mendapat pengakuan sebagai negara kepulauan, pemerintah Indonesia terus melakukan berbagai upaya dan negosiasi untuk melakukan penyesuaian FIR. Adita mengungkapkan, upaya serius mulai dilakukan sejak dekade 90-an dan kian intens dikerjakan dalam setengah dasawarsa terakhir.

Baca Juga

"Dengan berhasil ditandatanganinya MOU antara Indonesia dan Singapura pada 25 Januari 2022, kita seharusnya patut bersyukur  bahwa 249.595 km2 teritori Indonesia yang selama ini masuk ke FIR negara lain (Singapura), akan diakui secara internasional sebagai bagian dari FIR Indonesia," ungkapnya dalam keterangan pers, Senin (31/1/2022).

Diakui dia, upaya negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, tidaklah mudah. Upaya tersebut sudah berbasis pemikiran mendalam baik dari sudut pandang nasional maupun internasional, yang diiringi strategi matang dengan target yang terukur untuk kepentingan Indonesia.

Adita menambahkan, perjanjian Realigment FIR harus dipahami dari aspek nasional sekaligus internasional yang tidak dapat dipisahkan. Pengamatan komprehensif ini menjadi kunci, khususnya saat kita masuk dalam hal-hal teknis mengenai keselamatan dan kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional, termasuk best practice secara internasional.

"Hasil perundingan penyesuaian ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna antara RI-SIN merupakan hasil yang maksimal dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip hubungan luar negeri yang harmonis dan saling menguntungkan, khususnya dengan negara tetangga; dan tentu saja manfaat yang lebih besar untuk RI," paparnya.

Hasil yang diraih saat ini, lanjut dia, merupakan bukti kesiapan aspek teknis operasional layanan navigasi baik peralatan, SDM dan prosedur yang dilakukan Pemerintah. Ada banyak catatan di publik yang menunjukkan upaya pemerintah dalam menyiapkan aspek teknis operasional, termasuk beragam publikasi dan apresiasi internasional atas kerja nyata tersebut.

Sebagai informasi, sebelumnya seluruh pesawat udara yang terbang pada ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna harus mendapatkan clearance dari otoritas penerbangan Singapura. Apabila tidak segera diselesaikan, maka hal ini akan terus berlanjut dengan kerugian dari semua aspek bagi Indonesia.

"Karena itu, MOU RI-SIN tentang FIR Realignment telah membuka keuntungan lebih besar yang akan diperoleh RI dengan pengendalian ruang udara di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna baik aspek pengakuan ruang udara, keselamatan penerbangan, dukungan kerahasiaan dan keamanan kegiatan Pemerintah (TNI, Polri, Bea Cukai, dll) sekaligus memberikan manfaat dari sisi pemasukan negara dari biaya jasa pelayanan navigasi penerbangan untuk," jelas dia.

Terkait dengan komentar Prof Hikmahanto bahwa area di bawah ketinggian 37 ribu kaki didelegasikan ke Singapura, menurut Adita, hal ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan salah persepsi. Faktanya, hanya 29 persen saja wilayah tersebut yang didelegasikan kepada operator navigasi Singapura, yakni area yang berada di sekitar bandara Changi.

Dan hal ini harus dilakukan karena pertimbangan keselamatan penerbangan. Bahkan, di 29 persen area yang didelegasikan tersebut, terdapat wilayah yang tetap dilayani oleh AirNav Indonesia untuk keperluan penerbangan di Bandara Batam dan Tanjung Pinang. Sebagaimana Indonesia juga mengelola pelayanan navigasi penerbangan pada wilayah negara lain, yakni Christmast Island, dan Timor Leste.

"Jalan negosiasi untuk menyesuaikan FIR ini bukanlah jalan mudah dan pendek. Namun kecintaan akan Merah Putih dan kebanggaan akan tanah air Indonesia adalah motivasi utama seluruh pihak yang terlibat dalam negosiasi ini. Kami sangat berharap semua pihak dapat bersama-sama mendukung upaya perjuangan  sampai MoU ini efektif dan bisa kita rasakan manfaatnya sebagai bangsa yang berdaulat," terangnya.

Sebelumnya, Hikmahanto menyoroti, detail perjanjian FIR yang telah ditandatangani ternyata tidak merefleksikan kebijakan Presiden Jokowi. "Ternyata Singapura sangat cerdik dalam menegosiasikan perjanjian FIR sehingga para negosiator Indonesia terkecoh," kata dia ketika dikonfirmasi terkait rilis kepada media, Ahad (30/1/2022).

Menurut dia, perjanjian FIR yang seharusnya dikelola oleh Indonesia dalam ketinggian berapa pun saat perjanjian efektif berlaku. Namun, ternyata FIR yang berlaku di wilayah tertentu untuk ketinggian 0-37.000 kaki didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura.

Ia melihat, Singapura ingin tetap memiliki kewenangan pada ketinggian tersebut. Sebab bagi Singapura ketinggian tersebut sangat krusial. Hal ini karena pesawat udara mancanegara melakukan pendaratan dan lepas landas di Bandar Udara Changi.

"Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia. Keselamatan harus dipastikan," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement