Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Hari ini Saat yang Tepat Untuk Melakukan Muhasabah, Apa yang Telah Kita Lakukan 31 Hari ke Belakang

Agama | Sunday, 30 Jan 2022, 23:55 WIB

Isn't it funny how day by day nothing changes but when you look back, everything is different

(Bukankah ini lucu bagaimana hari demi hari tak berubah sama sekali. Tapi ketika Anda melihat ke belakang, semuanya telah berbeda?)

Pada awal tulisan ini, saya sengaja mengutip sebuah quotes dari C. S. Lewis (1898 – 1963), seorang penulis asal Inggris. Seperti yang dikatakan Lewis, kita sering menganggap kehidupan ini tak ada perubahan. Setiap hari matahari terbit dari timur dan terbit di barat. Setiap hari pula dengan setia dan tak pernah lelah malam yang gelap menggantikan siang yang berpamitan mengantar matahari terbenam.

Besok paginya, kita bangun yang terkadang dibangunkan kokok ayam. Lantas kita bangun menyambut mentari pagi, melaksanakan rutinitas kerja yang diawali dengan melaksanakan kewajiban ibadah shalat shubuh yang persiapannya terkadang tidak sama seriusnya dengan persiapan untuk melaksanakan rutinitas pekerjaan kita mencari nafkah.

Membaca Alqur’an jarang dilakukan dengan pengamatan dan pemahaman yang serius, berbeda dengan mengkaji rencana kerja atau laporan kerja yang akan diperiksa atasan atau orang yang kita hormati. Jujur kita akui, ibadah yang kita lakukan sering tak begitu serius. Itulah kenyataan yang tak terbantahkan.

Kini tiga puluh satu hari sudah kita menjalani tahun 2022. Perasaan kita sama saja, tak ada perubahan. Kalaupun kita pernah rame-rame membuat resolusi tahun 2022, rencana hidup yang akan dijalani setelah tahun 2021, itu hanya sekedar ikut-ikutan saja, mengikuti trend. Toh dalam kenyataannya, resolusi yang kita buat lebih sering kita tinggalkan. Jangankan dilaksanakan, dilirik untuk dibaca kembali pun tidak.

Apa yang telah kita peroleh selama tiga puluh satu hari menjalani kehidupan pada tahun 2022? Apabila kita menengok ke belakang, seperti yang Lewis katakan, kita telah menjalani dengan jauh berbeda dengan kondisi pada saat ini. Kita telah berjalan jauh yang tak mungkin dapat berputar kembali ke titik awal.

Seperti halnya Lewis, Imam Ghazali, salah seorang ulama sufi pun pernah mengatakan, hal yang paling jauh dari diri kita adalah waktu yang telah berlalu. Betapa tidak, waktu terus berjalan, tak pernah berhenti hingga kelak datangnya hari kiamat. Satu menit yang telah berlalu tak akan bisa diulangi. Semenit yang telah berlalu lebih jauh dari seribu tahun yang akan datang.

Marilah kita merenung sejenak, apa yang telah kita perbuat pada tiga puluh satu hari ke belakang. Meskipun secara global, mungkin kita bisa menilai akan perilaku kita selama satu bulan ke belakang, apakah dosa-dosa kita lebih banyak kita lakukan daripada ibadah-ibadah kita,atau sebaliknya, ketaatan kita lebih meningkat?

Sungguh suatu kebahagiaan jika ketaatan kita kepada-Nya jauh lebih banyak daripada kemaksiatan. Namun harus jujur diakui, kita sangat jarang melakukan muhasabah, memeriksa diri sendiri, menimbang-nimbang antara perilaku ketaatan dan kemaksiatan yang pernah kita lakukan. Padahal, para sahabat yang jelas-jelas istimewa tingkat kesalehannya sering melakukan muhasabah atas segala perilakunya dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana ini.

Alangkah baiknya jika kita semakin menyadari, kehidupan kita suatu saat akan berakhir. Kita akan hidup sendiri jauh di bawah tanah bertemankan gelap, pengap, dan bertetangga dengan cacing tanah yang akan setia menemani kita. Harta, istri, anak, sanak saudara, dan tetangga hanya mengantar sampai di atas pusara.

Tak sampai di sana saja, kita pun harus menghadapi segala akibat dari perbuatan yang pernah kita lakukan selama hidup di alam fana ini. Duka lara dari akibat perbuatan durjana kita akan kita rasakan sendiri. Demikian pula tawa bahagia akan kita rasakan manakala amal baik kita menemui kita di alam Barzakh alias alam kubur.

Alam Barzakh sendiri merupakan kehidupan yang penuh rahasia. Apakah kita akan merasakan kenikmatan yang penuh bahagia atau kesempitan yang penuh siksa, dan duka lara?

Alam Barzakh atau alam kubur merupakan pintu awal menuju akhirat. Barangsiapa mendapat kenikmatan di dalamnya, sudah pasti ia akan bahagia di alam akhirat kelak. Demikian pula sebaliknya, jika duka lara dan siksaan ia hadapi di alam Barzakh, dipastikan ia akan mendapatkan duka lara di akhirat kelak.

Tidaklah mengherankan jika Sahabat Usman bin ‘Affan r.a. senantiasa menangis, tubuhnya bergetar ketika ia menghadiri suatu pemakaman. Ia membayangkan dirinya mendapatkan duka lara di alam Barzakh. Karenanya Rasulullah saw sangat menganjurkan kepada kita agar senantiasa memohon kepada Allah agar dijauhkan dari duka lara di alam kubur atau alam Barzakh.

Kehidupan di alam fana ini merupakan satu-satunya tempat bagi kita untuk menanam segala perbuatan baik agar menjadi bekal yang berharga kelak ketika kita hidup di alam Barzakh dan akhirat. Kehidupan yang hanya satu kali ini sedapat mungkin kita gunakan untuk memperbaiki diri, meningkatkan ketaatan kepada-Nya, agar kehidupan kita tidak hanya berharga di alam fana ini, namun berharga pula di alam keabadian.

Mengingat kehidupan di alam keabadian kelak bukan berarti kita harus melupakan kehidupan di dunia ini. Islam tidak melarang pemeluknya untuk hidup bersenang-senang hidup di dunia, namun apa pun yang dilakukan selama di dunia ini sedapat mungkin harus dilakukan dengan baik sesuai aturan Allah dan Rasul-Nya agar menjadi bekal bagi kehidupan di alam keabadian.

Tak ada larangan untuk hidup bersenang-senang di alam fana ini selama tidak bertentangan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Satu hal yang dilarang selama kehidupan di alam fana ini adalah keterlenaan dengan gemerlapnya dunia sampai melupakan ketaatan kepada-Nya sebagai bekal menghadap-Nya di alam keabadian kelak.

Karenanya, sangatlah bijak apabila setiap saat kita senantiasa memperbaharui niat dalam menjalani kehidupan ini. Target-target apapun yang ingin dicapai selama kehidupan di alam fana ini harus diniatkan sebagai upaya meningkatkan ketaatan kepada-Nya, agar apapun yang kita lakukan selama hidup di dunia ini menjadi bekal untuk kehidupan abadi kita. Oleh karena itu, menjalaninya berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya mutlak diperlukan.

Selain itu, memperteguh diri dengan semakin memperkuat keyakinan bahwa kehidupan ini akan berakhir selayaknya dijadikan motivasi untuk meluruskan niat dan menelisik kehidupan kita agar tidak jauh melenceng dari penciptaan diri kita sebagai manusia.

Menjadi khalifah di muka bumi, seraya siap hidup berdampingan dan saling menolong dengan sesama merupakan tujuan diciptakannya manusia. Menjalankan tugas menjadi khalifah dan saling menolong antar sesama, semuanya harus berada dalam bingkai ibadah kepada Allah swt.

Besok kita akan memasuki fase kehidupan di bulan kedua dari tahun ini. Sudahkah kita mengevaluasi apa yang kita lakukan selama menjalani kehidupan pada bulan lalu?

Seperti dikatakan Hasan Al Basri, seorang ulama sufi, setiap datang pergantian waktu, sebenarnya sang waktu selalu berkata, “Aku makhluk baru yang datang menemuimu. Isilah aku dengan beragam kebaikan. Ingatlah, apapun yang kalian lakukan, aku akan menjadi saksi bagi kalian”.

Alangkah bijaknya apabila kita mengevalusai kekurangan dan kelemahan diri selama menjalani kehidupan pada bulan Januari 2022. Sudahkah kita mencatat segala kekurangan dan kekeliruan selama tiga puluh satu hari ke belakang seraya bertekad untuk tidak mengulangi lagi melakukannya pada bulan baru yang akan datang?

Semoga kehidupan esok hari kita lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Selamat berjuang memperbaiki diri. Semoga Allah senantiasa membimbing langkah kita, memberikan pertolongan, dan mengampuni segala kealfaan kita.

Ilustrasi : Kalender Bulan Januari 2022 (Sumber Gambar : Intisari Online)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image