Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Resolusi atau Cuma Menghibur Diri?

Gaya Hidup | Sunday, 30 Jan 2022, 11:02 WIB
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/resolusi-hidup_201230144504-474.jpg

Tahun ini saya ingin lebih baik, lebih semangat kerja, ibadah tambah rajin, dan hidup lebih sehat. Begitu ungkapan hati salah satu dari kami, saat sharing soal resolusi tahun 2022.

"Kalau saya sih nggak muluk-muluk, tetap menjalankan usaha katering kecil ini biar tambah besar. Ya minimal bisa leading di wilayah Ciomas dulu lah," sambung yang lainnya.

Dan, testimoni ketiga, empat, lima, enam, tujuh . Ada yang ingin berkarir di bidang baru, ada yang mau merampungkan studi Doktoralnya, ada yang berharap selekasnya menemukan sigaran hati dan bergegas menikah, dan tiba giliran saya ditanya kawan-kawan lainnya. "Kalau mas Saefudin, apa yang sudah dilakukan di 2021 dan apa yang diresolusikan di tahun ini? Apakah masih ingin tetap bergelut di media, or wanna get other chance?

Saya sempat bingung memulainya, Mungkin sampai jeda satu dua menit untuk merespon pertanyaan kawan-kawan di meeting virtual dua pekanan itu. "Gimana, Mas Saefudin?". Pertanyaan dari host sontak membuyarkan lamunanku.

"Ya, eee Saya ingin mencoba tantangan baru. Mungkin sudah tiga tahunan ini, tetapi baru mulai diseriusi tahun 2021 kemarin. Serius sedikit sih, tapi aku sudah mulai meraba-raba beberapa peluang dan tantangan lain. Belum ada yang fix, tapi paling nggak kan sudah berani membuka kesempatan bagi peruntungan-peruntungan lain untuk mengusik pikiran. Sebelumnya, aku nyaris gak punya keberanian".

Ya, meski sedikit didramatisir, tapi ini riil loh. Kalau memikirkan kemungkinan peluang karir lain saja tidak ada keberanian, itu mungkin alarm. Bahwa sadar atau tidak, aku tengah dibuai zona nyaman.

"By the way, aku sama sekali tidak pernah menyesal loh bekerja di media. Karena sejak awal itu memang salah satu passionku, menulis. Tetapi beberapa orang sempat menyentilku, yang terakhir dan mungkin paling kuat justru Ayah sendiri. Potensiku belum teraktualisasi maksimal. Idle capacity, begitu mereka menyebutnya. Ini yang mendorongku bergegas ingin mencoba petualangan baru; new journey, new challence, in new year, hahaha "

Tawaku itu menyudahi sesie sharing tentang resolusi. Giliran Ayah kami memberi stressing. Tanpa bermaksud merendahkan yang lain, saat itu aku merasa resolusiku lah yang paling serius. Mungkin karena gaya penyampaianku saja yang sok serius. Tapi perasaan itu mendadak ambyar begitu Ayah mulai bicara.

"Yang Ayah dengar tadi, kok menyenangkan semua ya. Resolusi kalian indah indah sekali”.

Agh, kalimat ini auto menjungkirbalikkan isi kepala. Sedikit menyesakkan, tetapi ya memang riil adanya. Seolah Ayah ingin berkata, kalau resolusinya seperti mimpi di siang bolong, lalu di mana tantangannya?

“Kalau resolusi itu banyak, buatlah skala prioritas. Be focus, harus khusyu anakku. Bukan resolusi kalau rumusan dan kerangkanya tidak jelas!”

Duh, perasaan tambah tak karuan. Ibaratnya isi hati kita ke-gape kan. Ini semisal kita lompat tembok stadion untuk menghindari beli tiket konser, eh tahu-tahu sejumlah security sudah menunggu kita di bawah dengan pentungan. Kan bukan cuma malu, alamat memar-memar dikit lah.

“Kalau boleh Ayah mendefinisikan, resolusi adalah tekad bulat untuk mewujudkan tuntutan hati,” kata Ayah menegaskan.

Seusai acara, istri tanya. “Emang tadi bahas apaan, kok kayaknya nyinggung-nyinggung resolusi”.

Nggak, cuma sharing harapan aja. Temen-temen bicara keinginannya apa di tahun ini”

“Ya bener dong, resolusi!,” timpal istriku.

***

Entahlah, gegara omongan Ayah, aku sendiri jadi ragu. Jangan-jangan hasratku untuk mencari tantagan baru di 2022 bukanlah resolusi. Jangan-jangan ini hanya caraku escape from reality. Semisal orang-orang miskin yang hidup susah lagi payah mendatangi pemuka agama untuk meminta solusi, lalu alih-alih dibantu jalan keluarnya malah di-adem-ademi dengan mantra. “Tenang saudaraku, kalian boleh saja hidup miskin dan menderita di dunia. Tetapi kelak kalian akan mereguk nikmatnya surga”.

Mantra ini mungkin saja menenangkan, tetapi tak menyelesaikan lapar si miskin. Esoknya mereka kesulitan sekadar untuk membeli beras dan datang lagi ke pemuka agama, tapi solusinya masih sama. Episode macam inilah yang membuat Karl Marx, sang bapak komunisme itu, menuding agama tak lebih dari candu. Ia sesaat menenangkan orang dari pahirnya hidup, tetap setelahnya hidup masih saja lebih pahit dari kopi expresso.

***

“Gimana, kok gak dijawab?,” sungut istriku.

Gak tahu, Mah. Mau dibilang resolusi kok kayak masih ngambang semua, belum jelas apa yang benar-benar Ayah minati, bagaimana strategi mewujudkannya, bagaimana mengeksekusinya”

“Ya udah, tinggal dirumusin yang mateng. Tekadnya sudah ada, kan gampang”

Agh, tidak segampang itu juga keles. Aku memang mendadak galau, menyangsikan apa yang sebelumnya ku-elu-elukan, sekaligus sedikit bingung dengan apa yang harus dan akan dilakukan. Kalau ada yang pasti dari situasi saat ini, mungkin aku sedang mencoba menyimpulkan situasi. Dan kesimpulan itu kurang lebih berbunyi; Sebetulnya aku sedang beresolusi atau cuma menghibur diri?! []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image