Jumat 28 Jan 2022 01:06 WIB

Kesepakatan RI-Singapura, Pengamat: Pemerintah Perlu Siapkan Tindak Lanjut

Pengamat menilai Singapura lebih berkepentingan di kesepakatan ini

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri) berbincang dengan KSAL Laksamana TNI Yudo Margono (kanan) saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/1/2022). Dalam rapat kerja tersebut Menteri Pertahanan Prabowo menyampaikan bahwa perjanjian penyesuaian ruang udara flight information region (FIR) antara Indonesia dengan Singapura tidak merugikan namun munguntungkan negara.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri) berbincang dengan KSAL Laksamana TNI Yudo Margono (kanan) saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/1/2022). Dalam rapat kerja tersebut Menteri Pertahanan Prabowo menyampaikan bahwa perjanjian penyesuaian ruang udara flight information region (FIR) antara Indonesia dengan Singapura tidak merugikan namun munguntungkan negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dan Singapura menyepakati sejumlah kesepakatan dalam bidang hukum dan pertahanan. Pengamat militer dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas mengatakan, pemerintah Indonesia perlu segera menyiapkan tindak lanjut yang terperinci terkait kesepakatan-kesepakatan yang sudah tercapai itu.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menandatangani serangkaian kesepakatan di bidang hukum, pertahanan, dan diplomasi pada Selasa (25/1). Kesepakatan itu meliputi penyesuaian pelayanan ruang udara atau Flight lnformation Region (FIR), perjanjian ekstradisi atau Extradition Treaty (ET), dan pernyataan bersama Menteri Pertahanan kedua negara tentang komitmen untuk memberlakukan kerja sama pertahanan (DCA).

Anton menyebut, penandatanganan ulang DCA ini merupakan hasil proses negosiasi yang cukup alot antara pemerintah kedua negara. "Jika melihat konfigurasi Komisi I DPR saat ini, kemungkinan besar proses ratifikasi dapat berjalan lebih lancar daripada proses 2007 lalu. Terlebih, sejauh ini belum ada penolakan publik yang muncul termasuk dari kalangan purnawirawan TNI," kata Anton saat dihubungi, Kamis (27/1).

Menurut dia, dijadikannya DCA, FIR dan ET dalam satu paket, maka sebenarnya tidak ada yang berubah dari strategi yang dijalankan Singapura. Dengan demikian, jelas Anton, apabila DCA kembali gagal diratifikasi, maka paket perjanjian tersebut akan batal secara keseluruhan. 

"Apalagi, jika merujuk pada kepentingan nasional, maka akan sangat terlihat bahwa Singapura yang lebih membutuhkan paket perjanjian tersebut bisa diratifikasi kedua negara ketimbang Indonesia. Padahal, ET dan DCA sebenarnya tidak memiliki keterkaitan ataupun dimensi yang sama," ungkapnya.

Oleh karena itu, Anton menilai, sudah semestinya pemerintah segera menyiapkan tindak lanjut lebih rinci terkait DCA. Menurut dia, pemerintah hendaknya memastikan tidak ada perbedaan tafsir bahwa area latihan militer yang disepakati adalah Area Alpha 1 dan Alpha 2, tidak termasuk Bravo. Dalam hal ini, pengaturan tindak lanjut implementing agreement (IA) DCA menjadi krusial untuk menutup celah adanya multiinterpretasi dari perjanjian bilateral, termasuk juga penggunaan wilayah Singapura untuk latihan militer.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement