Kamis 27 Jan 2022 16:11 WIB

Turki Siap Jadi Tuan Rumah Pertemuan Pemimpin Rusia dan Ukraina

Turki siap memainkan peran dalam meredakan ketegangan antara Rusia dan Ukraina.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Friska Yolandha
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Foto: AP Photo/Franc Zhurda
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan kembali bahwa negaranya siap menjadi tuan rumah pertemuan para pemimpin Rusia dan Ukraina. Turki siap menjamu Vladimir Putin dan Volodymyr Zelenskyy untuk membuka jalan membangun kembali perdamaian menyusul ketegangan kedua negara yang tensinya semakin tinggi.

"Tidak mungkin Turki bisa baik-baik saja dengan ketegangan di Ukraina. Kami menginginkan perdamaian di wilayah kami, dan kami siap membantu meredakan ketegangan dengan cara apapun yang kami bisa," kata Erdogan dalam wawancara televisi pada Rabu (26/1/2022) malam waktu setempat, dikutip laman Daily Sabah, Kamis (27/1/2022).

Baca Juga

Turki juga ingin ketegangan antara rusia dan Ukraina diselesaikan sebelum berubah menjadi krisis baru. "Saya berharap Rusia tidak akan melakukan serangan bersenjata dan pendudukan Ukraina," imbuhnya. Langkah seperti itu, katanya, tidak bisa dibilang rasional untuk Rusia dan kawasan.

Dia pun menekankan keinginan Turki untuk perdamaian dan stabilitas regional. Erdogan juga mengumumkan bahwa dia telah mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin ke Turki, namun tanggalnya belum ditentukan.

Sementara itu, Erdogan juga menegaskan kembali komitmen jelas Turki terhadap integritas teritorial Ukraina. Sebelumnya Juru Bicara Kepresidenan Turki Ibrahim Kalin mengatakan bahwa Turki siap memainkan peran dalam meredakan ketegangan antara Rusia dan Ukraina.

Kalin mengatakan, bahwa Presiden Erdogan akan melakukan perjalanan ke Kyiv untuk mengadakan pembicaraan dengan Zelenskyy dalam beberapa pekan mendatang. Pernyataan Kalin muncul di webinar online berjudul "Ketegangan Rusia-Ukraina: Apa yang Dipertaruhkan untuk Eropa dan NATO?" diselenggarakan oleh Yayasan Circle.

Kalin juga menginformasikan bahwa Erdogan telah berbicara dengan Putin dan Zelenskyy. Erdogan baru-baru ini juga mengatakan bahwa Turki dapat menjadi penengah antara Ukraina dan Rusia di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan itu.

Dalam tanggapan awalnya, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak tawaran Ankara saat berbicara dengan wartawan di Moskow. "Faktanya adalah Rusia bukan pihak dalam konflik di Donbass. Tidak mungkin menemukan solusi untuk masalah di pertemuan puncak seperti itu," katanya.

Namun, dalam pernyataan selanjutnya, Kremlin mengatakan bahwa jika Turki dan Erdogan dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mendorong Ukraina menerapkan Protokol Minsk 2014, Rusia akan menyambutnya. "Kami berharap wilayah ini tidak menjadi wilayah yang didominasi oleh perang," kata Erdogan. "Biarkan wilayah ini berjalan ke masa depan sebagai wilayah yang didominasi oleh perdamaian."

Pekan lalu, sumber diplomatik Turki mengatakan bahwa pertemuan Minsk antara Ukraina dan Rusia akan diadakan di Istanbul. Namun dia tidak memberikan tanggal pasti karena ketegangan di kawasan itu telah mencapai titik tertinggi baru.

Sumber tersebut menggarisbawahi bahwa posisi Turki tetap jelas, yaitu untuk mengurangi ketegangan, mencegah eskalasi dan meningkatkan dialog. "Pembicaraan dan upaya untuk mengadakan putaran berikutnya dari Grup Kontak Trilateral, yang terdiri dari Rusia, Ukraina dan Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) di Istanbul terus berlanjut," mereka menjelaskan.

Rusia baru-baru ini mengumpulkan puluhan ribu tentara di dekat perbatasan timur Ukraina. Langkah ini memicu kekhawatiran bahwa Kremlin dapat merencanakan serangan militer lain terhadap bekas tetangga Sovietnya.

Namun Moskow membantah bahwa pihaknya tengah dalam persiapan menyerang Ukraina dan mengatakan pasukannya ada di sana untuk latihan. Rusia juga telah mengeluarkan daftar tuntutan keamanan, termasuk agar Ukraina tidak bergabung dengan NATO.

Ukraina telah memerangi pasukan yang didukung Moskow di dua wilayah timur yang memisahkan diri sejak 2014, ketika Rusia mencaplok Semenanjung Krimea dari Ukraina. Lebih dari 13 ribu orang telah tewas, dan penambahan pasukan Rusia terbaru juga sangat mengguncang tetangga mereka di Baltik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement