Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Wisata Halal Tanpa Alkohol dan Daging Babi

Wisata | Sunday, 23 Jan 2022, 12:35 WIB
Suasana Pantai Lampuuk sesuai pendemi Covid-19 melandai. (Dokumentasi pribadi)

Indonesia memiliki energi besar memajukan sektor pariwisata halal. Tren pertumbuhan pun terus meningkat tiap tahunnya. Berbagai destinasi dan objek wisata baru bermunculan dan viral, baik di kancah domestik, nasional maupun internasional. Ini sebuah potensi luar biasa.

Munculnya tempat-tempat wisata baru dalam beberapa tahun belakangan tentu saja memberi harapan besar bagi kemajuan industri pariwisata Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari gencarnya promosi yang dilakukan oleh Indonesia di kancah dunia.

Pesatnya pertumbuhan destinasi wisata tersebut sejalan dengan pertumbuhan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia sebelum pandemi. Apalagi daerah-daerah yang dikenal memiliki budaya unik dan panorama alam yang sangat menginspirasi indahnya seperti Lombok, Sumatera Barat, dan Aceh.

Wisata Halal
Selain pertumbuhan destinasi baru, industri pariwisata Indonesia juga mulai bergeser ke arah pariwisata halal. Istilah halal digunakan untuk menunjukkan secara spesifik model pariwisata yang dikembangkan.

Menurut sebuah situs yang mempromosikan dunia wisata, wisata halal adalah bagian dari industri pariwisata yang ditujukan untuk wisatawan Muslim. Pelayanan wisatawan dalam pariwisata halal merujuk pada aturan-aturan Islam. Pariwisata halal dimaknai sebagai konsep pariwisata yang mengedepankan rasa aman, sehat, dan bersih. Salah satu contoh dari bentuk pelayanan ini misalnya hotel yang tidak menyediakan makanan ataupun minuman yang mengandung alkohol dan memiliki kolam renang serta fasilitas spa yang terpisah untuk pria dan wanita.

Istilah wisata halal baru mulai dikenal sejak 2015 ketika sebuah event World Halal Tourism Summit (WHTS) digelar di Abu Dhabi, UAE. Sebelumnya dunia pariwisata hanya mengenal sebagai muslim tour atau semisalnya. Dalam even tersebut, WHTS berusaha menyadarkan bahwa pangsa pasar dari wisata halal amatlah besar dan perlu untuk terus dikembangkan.

Sebuah artikel yang diterbitkan oleh situs The Economist juga menyebutkan adanya prospek yang cukup besar bagi industri pariwisata halal, tidak hanya berhubungan dengan produk halal seperti makanan ataupun minuman non-alkohol tetapi juga pelayanan yang halal terutama yang berhubungan dengan interaksi antara wisatawan laki-laki dan perempuan.

Pertumbuhan Meningkat
Hingga 2015, pertumbuhan industri pariwisata halal di Indonesia dapat dikatakan mengalami pertumbuhan terbesar dibandingkan dengan jenis pariwisata lainnya. Mengacu pada data global, jumlah kunjungan wisatawan Muslim di seluruh dunia meningkat dari tahun ke tahun.

Pada 2016, tercatat terdapat 121 juta wisatawan Muslim yang berkunjung ke berbagai negara (termasuk ke Indonesia). Diproyeksikan, pada 2020 tidak kurang dari 158 juta wisatawan Muslim akan melakukan destinasi wisatanya ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia (Global Muslim Travel Index). Bahkan diperkirakan akan mencapai nilai Rp 3.800 triliun pada tahun 2023.

Wisatawan muslim terbesar yang menikmati pariwisata halal ini berasal dari berbagai negara termasuk Malaysia, Qatar, Saudi Arabia, dan lain-lain.

Aceh Bersolek
Aceh yang mayoritas muslim dan menjalankan syariat Islam sangat tepat mengembangkan wisata Islami tersebut. Konsep pariwisata halal di Aceh bukan hanya terbatas pada makanan halal, penginapan syariah, tapi juga pengaturan soal pakaian yang menutupi aurat.

Dalam konteks makanan halal, industri pariwisata Islami di Aceh wajib terbebas dari makanan dari unsur daging babi, anjing, dan mengandung zat-zat yang haram. Tidak boleh ada restoran yang menyediakan daging babi pada area publik dengan alasan apapun. Sebab ajaran Islam sangat mengharamkan daging babi.

Positioning Aceh sebagai daerah destinasi unggulan wisata halal sangat tepat dan kuat. Apalagi keberhasilan Aceh meraih peringkat ll sebagai Destinasi Wisata Halal Unggulan Indonesia pada Sapta Pesona Kementerian Pariwisata (Kemenpar) pada Senin, 8 April 2019 lalu. Penghargaan ini semakin memperkuat Aceh untuk tampil lebih percaya diri dalam industri wisata halal dan mampu bersaing dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia dan dunia.

Tidak Jual Daging Babi
Begitu pula di berbagai daerah lainnya yang menawarkan wisata halal bagi para turis, haruslah menolak pembukaan restoran-restoran yang menyediakan daging babi, apalagi secara terang-terangan mempromosikan komoditas haram tersebut di tengah-tengah masyarakat muslim. Pemerintah setempat wajib menutup warung-warung atau rumah makan yang melanggar aturan Islam.

Daging babi dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang sudah jelas tidak boleh dikonsumsi oleh ummat. Allah Subhanahu Wata'aala telah melarang secara tegas dalam Al Quran.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.” (QS. Al Baqarah: 173).

Beredarnya video berdurasi 6 menit di group-group WhatSapp dan media sosial yang menampilkan restoran babi dengan brand "Panggangin" di Jakarta dan menjual daging babi olahan atau kuliner daging babi secara leluasa telah menimbulkan kekuatiran di kalangan umat Islam Indonesia. Dalam video tersebut oleh penggagas bisnis kuliner babi Panggangin yaitu Derra dan Sulung terang-terangan mengatakan bahwa makanan haram (babi) merupakan masalah pribadi, artinya mau makan atau tidak itu bentuk sebuah sikap pribadi setiap orang dan bukan masalah agama.

Mereka mengajak umat Islam untuk menikmati kesenangan dengan memakan daging hewan tersebut. Fenomena di atas bukan hanya dapat mengganggu kerukunan umat muslim dan pelaku bisnis yang tidak patuh pada aturan namun sekaligus merusak citra dan konsep wisata halal yang sedang dibangun oleh pemerintah DKI Jakarta. Selain itu pelaku bisnis tersebut juga melanggar Undang-undang Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Oleh karena itu, perlu diantisipasi sejak dini. Pemerintah daerah di mana ada penjualan daging babi secara bebas dapat segera menindak apalagi jika itu terdapat dalam kawasan wisata halal. Sebab bila tidak maka akan memunculkan perilaku massa yang menentang bisnis haram tersebut dengan cara mereka sendiri. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image