Sabtu 22 Jan 2022 14:10 WIB

Menjaga Kesehatan Hewan, Demi Menjaga Kesehatan Masyarakat di Masa Pandemi

Kesadaran masyarakat bahwa hewan berpotensi menularkan penyakit berbahaya

 Anggota tim Organisasi Kesehatan Dunia terlihat mengenakan alat pelindung selama kunjungan lapangan ke Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Hewan Hubei untuk kunjungan lapangan satu hari lagi di Wuhan di provinsi Hubei China tengah Selasa, 2 Februari 2021. Tim WHO adalah menyelidiki asal-usul pandemi virus corona telah mengunjungi dua pusat pengendalian penyakit di provinsi tersebut.
Foto: AP / Ng Han Guan
Anggota tim Organisasi Kesehatan Dunia terlihat mengenakan alat pelindung selama kunjungan lapangan ke Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Hewan Hubei untuk kunjungan lapangan satu hari lagi di Wuhan di provinsi Hubei China tengah Selasa, 2 Februari 2021. Tim WHO adalah menyelidiki asal-usul pandemi virus corona telah mengunjungi dua pusat pengendalian penyakit di provinsi tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Rizky Fajar

Tanpa terasa pandemi Covid-19 memasuki tahun yang ketiga. Rangkaian daya-upaya, belum mampu menuntaskan penyakit infeksi ini. Bahkan dunia menghadapi tantangan pertumbuhan jumlah kasus, yang disebabkan oleh infeksi virus Sars CoV-2 varian Omicron. 

Varian ini menurut para ahli, memiliki tingkat penularan yang lebih tinggi dibandingkan dengan varian lainnya. Meski keganasannya dinilai lebih rendah dibandingkan dengan varian lainnya, Omicron menjadi ancaman kesehatan masyarakat, karena berpotensi menimbulkan krisis pelayanan kesehatan. 

Per 22 Januari 2022, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merilis data, infeksi Covid-19 di seluruh dunia mencapai 340,543,962 kasus dan menyebabkan kematian 5,570,163 jiwa. Hingga 18 Januari 2022, WHO melaporkan total dosis vaksin yang telah diinjeksikan mencapai 9,571,502,663 dosis. 

Di Indonesia sendiri, sesuai pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, hingga 4 Januari 2022, sudah 166,65 juta orang Indonesia yang mendapatkan vaksinasi Covid-19. Pencapaian ini membuat negara kita termasuk dalam 5 negara dengan cakupan vaksinasi Covid-19 tertinggi di dunia.

Tingginya cakupan vaksinasi ini membuktikan tingginya kesadaran masyarakat terhadap masalah kesehatan. Studi Badan Pusat Statistik (BPS) bertajuk “Survei Perilaku Masyarakat pada Masa Pandemi COVID-19” mengungkap, dari 154.413 responden yang telah menjalani vaksinasi, sebanyak 65,3 persen melakukan vaksinasi atas kesadaran sendiri. 

Sedangkan dari 58.349 responden yang belum mendapatkan vaksinasi, sebanyak 21,2 persen menyatakan bahwa mereka masih menunggu jadwal pelaksanaan vaksinasi di fasilitas kesehatan. Sementara itu, proporsi kelompok masyarakat yang menolak vaksinasi karena tidak memercayai efektivitas vaksin, hanya berkisar 4,2 persen saja. 

Masih dalam penelitian yang sama, tingkat kesadaran publik dalam menjalankan protokol kesehatan berada di kisaran 54,5 persen hingga 87,1 persen. Tingkat kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam meningkatkan imunitas di masa pandemi mencapai 87,1 persen. Inilah protokol kesehatan yang paling dipatuhi oleh masyarakat Indonesia. Sedangkan protokol kesehatan yang paling sering dilanggar oleh masyarakat selama pandemi adalah pemakaian 2 masker, dengan persentase sebesar 20 persen. 

Hipotesis bahwa masyarakat semakin peduli kesehatan di masa pandemi, diperkuat oleh data Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga ini menyatakan, total premi asuransi kesehatan di Juli 2021 mencapai 8,85 triliun rupiah. Meningkat 4,73 persen dibandingkan Juli 2020. Hal ini menyiratkan tumbuhnya kesadaran dan peningkatan literasi kesehatan masyarakat di masa pandemi. 

Tingginya tingkat kesadaran terhadap aspek kesehatan masyarakat ini, seharusnya beriringan dengan peningkatan kesadaran masyarakat, terhadap isu kesehatan hewan. Terkait dengan eksistensi penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia, atau zoonosis. Karena di benak mayoritas masyarakat Indonesia, dunia kesehatan hewan kerap diasosiasikan dengan upaya mengobati hewan yang sakit saja. Sehingga pihak yang berkepentingan dengan kesehatan hewan, sebatas pada pecinta dan pemelihara hewan, praktisi konservasi satwa, serta peternak. 

Padahal, dalam khazanah keilmuan kedokteran hewan, terdapat bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet). Yang salah satu cakupan keilmuannya adalah pencegahan dan penanganan zoonosis. Termasuk aspek keamanan konsumsi bahan pangan asal hewan, terutama daging, susu, dan telur, serta produk pangan turunannya.

Pandemi Covid-19 mengingatkan kita, bahwa kesadaran dan kepedulian manusia terhadap kesehatan hewan harus ditingkatkan. Menilik data dari Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), hingga 31 Desember 2021, total infeksi Covid-19 pada hewan mencapai 625 kasus, yang tersebar di 32 negara di Benua Asia, Amerika, dan Eropa. Setidaknya ada 17 spesies hewan yang terinfeksi Covid-19. Antara lain anjing, kucing, singa, harimau, gorila, rusa, dan puma. Di Asia, spesies hewan yang terkonfirmasi positif Covid-19 adalah anjing, kucing, singa, dan harimau. 

Meski belum ada laporan infeksi Covid-19 pada hewan di Indonesia, kita perlu waspada, karena di Singapura sudah terkonfirmasi seekor Singa terinfeksi Covid-19. Sedangkan Thailand telah melaporkan kasus infeksi Covid-19 pada anjing dan kucing. Belajar dari pengalaman wabah penyakit hewan, seperti Flu Burung, munculnya kasus di negara tetangga, berpotensi menimbulkan kasus serupa, di teritorial Indonesia.

Semenjak 29 September 2004 muncul inisiatif “One World, One Health”. Inisiatif ini muncul setelah para ahli kedokteran, kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan satwa liar berkumpul dalam sebuah simposium yang diselenggarakan oleh Komunitas Konservasi Satwa Liar (Wildlife Conservation Society) di The Rockefeller University. 

Salah satu poin penting konsep “One World, One Health” adalah keterkaitan aspek kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, satwa liar, dan lingkungan. Para ahli menyadari, munculnya penyakit baru atau new emerging disease, dipicu oleh perubahan pola interaksi manusia terhadap hewan dan lingkungan. Pertumbuhan populasi manusia, berimbas pada peningkatan alih fungsi lahan, terutama hutan menjadi kawasan industri dan pemukiman. Padahal, salah satu fungsi hutan adalah perangkap alami mikroorganisme patogen. 

Sesuai kajian ilmu mikrobiologi, agen penyakit seperti bakteri, virus, dan parasit di masa lampau terperangkap di dalam tubuh satwa liar. Namun, seiring dengan masifnya perambahan hutan, maka intensitas kontak antara manusia dengan satwa liar menjadi meningkat. Sehingga potensi infeksi mikro organisme patogen, yang selama ini terperangkap di dalam tubuh satwa liar, ke dalam tubuh manusia menjadi meningkat pula. 

Pandemi Covid-19, adalah salah satu contoh nyata, kasus penyakit manusia yang bersumber penyakit pada hewan. Sebagaimana kita tahu, awal mula wabah ini adalah infeksi virus yang berada di tubuh kelelawar liar, yang diperjual belikan di pasar hewan di Kota Wuhan, Cina. Jika merunut ke belakang, penyakit zoonosis yang mengancam status kesehatan masyarakat antara lain flu burung, Ebola, SARS, sapi gila (Mad Cow Disease), dan west nile virus (penyebab penyakit meningitis atau radang selaput otak). 

Salah satu tindak lanjut prinsip “One World, One Health” adalah penerbitan Tripartite Zoonosis Guide (TSG). Panduan penanganan kasus zoonosis ini dirancang oleh tiga lembaga dunia. Yaitu Badan Kesehatan Dunia (WHO), Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), serta Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). TSG menjadi panduan bagi pemangku kepentingan (stakeholder) di seluruh dunia, dalam penanganan kesehatan hewan serta keamanan bahan pangan asal hewan, yang berdampak pada kesehatan masyarakat. 

Secara geografis, Indonesia memiliki kawasan hutan tropis terbesar di dunia. Ketika masyarakat memahami hubungan kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan, proses konservasi lingkungan akan berjalan lebih baik. Terutama kesadaran dalam mengonsumsi produk yang berasal dari hewan liar, seperti bulu, kulit, gading, cula, hati, dan empedu. Termasuk kesadaran masyarakat dalam menghindari pemeliharaan satwa liar. 

Kesadaran masyarakat bahwa hewan berpotensi menularkan penyakit berbahaya, akan menumbuhkan tanggung jawab dalam menjaga kesehatan hewan yang berada di bawah pemeliharaannya. Sehingga kegiatan surveilans kesehatan hewan dapat meningkat, seiring dengan tingginya partisipasi masyarakat dalam memeriksakan kesehatan hewan peliharaannya ke dokter hewan, klinik dan rumah sakit hewan. Optimalnya proses surveilans kesehatan hewan ini akan menurunkan potensi mewabahnya penyakit zoonosis yang mengancam status kesehatan masyarakat.

Selain itu, tingginya tingkat literasi kesehatan hewan, akan berdampak pada tingginya wawasan dan pengetahuan masyarakat terkait keamanan pangan bersumber hewan. Pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam memperoleh, mengolah, dan menyimpan bahan pangan asal hewan, mencegah munculnya penyakit bersumber pangan (foodborne disease). Misalnya penyakit Salmonellosis karena konsumsi telur yang terkontaminasi Bakteri Salmonella.

Kita seharusnya memahami bahwa aspek kesehatan tak sebatas pada keilmuan kedokteran dan kesehatan masyarakat. Karena kita hidup dan berinteraksi dengan hewan sebagai sesama penghuni bumi, dibutuhkan peran kesehatan hewan dalam membangun dan menjaga status kesehatan masyarakat. Sebagaimana falsafah dunia kedokteran hewan, “Manusya Mriga Satwa Sewaka" yang bermakna, “Menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui kesejahteraan hewan”.

* Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Masyarakat Indonesia Maju Jakarta dan Kandidat Doktor Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement