Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image idris apandi

ADAB SEBELUM ILMU: REFLEKSI DARI SEBUAH PERSOALAN RASISME

Eduaksi | Thursday, 20 Jan 2022, 10:50 WIB

ADAB SEBELUM ILMU: REFLEKSI DARI SEBUAH PERSOALAN RASISME

Oleh: IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan)

Kegaduhan, konflik, atau kasus kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal yang terjadi di tengah masyarakat banyak diawali oleh postingan status atau komentar di medsos baik secara tertulis maupun dalam bentuk video, ucapan, atau simbol tertentu. Pelakunya bukan hanya orang yang berpendidikan rendah, tetap juga berpendidikan tinggi. Bukan hanya orang miskin, tapi juga orang kaya. Bukan hanya orang biasa, tapi juga oknum pejabat dan penguasa.

Adab, akhlak, atau etika memang harus dimiliki oleh siapa pun dan dari latar belakang apapun. Adab adalah modal yang sangat penting dalam bergaul, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan orang lain. Untuk mengetahui adab yang baik dan tidak baik tentunya harus diajarkan atau melalui proses belajar mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat. Orang yang berilmu tinggi tidak akan mulia tanpa disertai dengan adab yang tinggi. Justru akan menurunkan harkat dan martabatnya sebagai orang yang berilmu.

Peran orang tua, guru, tokoh masyarakat, atau figur publik sangat diperlukan mencontohkan adab yang baik kepada anak-anak atau masyarakat. Tulisan, ucapan, sikap, dan perilakunya akan dilihat, dinilai, dan dicontoh oleh masyarakat. Oleh karena itu, mereka harus hati-hati sebelum menulis, berucap, atau memosting sesuai di ruang publik. Kalau keseleo lidah atau keseleo jari, maka bisa jadi kegaduhan, mengundang respon negatif dari masyarakat. Bahkan ada yang berujung dilaporkan ke aparat hukum.

Saat ini publik, khususnya orang Sunda bereaksi terhadap ucapan seorang anggota DPR pada saat rapat dengan Jaksa Agung beberapa waktu yang lalu. Dia meminta seorang kepala kejaksaan tinggi yang bicara dengan menggunakan bahasa sunda pada saat rapat dengan DPR diganti. Pernyataannya tersebut menyinggung suku Sunda karena dinilai rasis dan menyinggung SARA.

Beberapa politisi yang berasal dari suku sunda menyangkan pernyataan rekannya di DPR tersebut. Mereka menilai hal tersebut sebagai hal yang berlebihan. Seorang jaksa bisa diberhentikan jika melanggar pidana, bukan karena menggunakan bahasa daerah (sunda) saat rapat.

Dalam rapat-rapat formal, apalagi level nasional tentunya tidak seluruhnya menggunakan bahasa daerah. Pastinya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Penggunaan bahasa daerah mungkin hanya saat tertentu saja dan diperjelas maksudnya dengan bahasa Indonesia. Dalam rapat pun kadang menggunakan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, tetapi hal tersebut belum pernah ada yang mempersoalkan.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meminta agar yang bersangkutan meminta maaf kepada orang sunda atas pernyataan tersebut. Begitu pun para tokoh sunda, budayawan, sastrawan, dan kelompok pengguna dan pemerhati bahasa Sunda menuntut hal yang sama. Bahkan, selain meminta maaf, yang bersangkutan supaya yang bersangkutan diganti antarwaktu oleh partainya. Tidak layak jadi wakil rakyat di DPR karena dinilai rasis, tidak menghargai kebhinekaan, dan tidak menghargai kearifan lokal. Hal ini bertolak belakang dengan yang sering disampaikan oleh partai tempatnya bernaung yang sering mengampanyekan Pancasila, NKRI, pluralisme, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Di sinilah pentingnya adab sebagai representasi ilmu. Mungkin seseorang tahu tentang ilmu bertutur kata yang baik, tapi belum tentu mengamalkannya. Hal tersebut mungkin disebabkan karena yang bersangkutan hanya sekadar tahu saja, belum memahami, apalagi sampai tahap internalisasi dan aksi. Gelar pendidikan dan jabatan yang tinggi tidak menjamin seseorang memiliki adab yang mulia. Sikap sombong, arogan, kasar, merendahkan orang lain bisa juga karena pengaruh negatif gelar dan jabatan yang disandangnya.

Filosofi ilmu padi, yaitu semakin berisi semakin menunduk harus benar-benar ditanamkan kepada setiap orang. Sikap tidak merasa pandai, tapi pandai merasa menjadikan seseorang berhati-hati sebelum menulis atau mengucapkan sebuah kata atau kalimat. Apalagi kalau sudah menyinggung urusan SARA karena bisa menjadi masalah yang sangat sensitif.

Syeikh Imam Nawawi mengingatkan tentang kedudukan adab sebelum ilmu. Pada tulisan yang lain, saya membaca bahwa akhlak sebagai puncaknya ilmu. Ilmu memang penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah implementasi dari ilmu yang terefleksikan dalam adab dalam kehidupan sehari-sehari. Dalam konteks (dugaan) kasus rasis di atas, sebaiknya yang bersangkutan meminta maaf kepada orang Sunda. Meminta maaf tidak akan meruntuhkan harga diri, tetapi justru sebuah cerminan adab yang mulia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image