Kamis 20 Jan 2022 18:00 WIB

KPPU Temukan Sinyal Kartel Minyak Goreng, Ini Jawaban Produsen

Pengaruh global sangat kuat terhadap pergerakan harga minyak sawit.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Penambahan stok minyak goreng murah di toko ritel Indomaret, Sleman, Yogyakarta, Kamis (20/1/2022). Produsen minyak goreng merespons pernyataan KPPU soal indikasi kartel di balik kenaikan harga minyak goreng.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Penambahan stok minyak goreng murah di toko ritel Indomaret, Sleman, Yogyakarta, Kamis (20/1/2022). Produsen minyak goreng merespons pernyataan KPPU soal indikasi kartel di balik kenaikan harga minyak goreng.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebut terdapat sinyal praktik kartel dalam naiknya harga minyak goreng di dalam negeri. Namun, produsen minyak goreng menegaskan, kenaikan harga minyak sawit (CPO) murni karena situasi harga secara global.

Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Bernard Riedo mengatakan, sumber bahan baku dari minyak goreng adalah CPO. Sementara, CPO adalah komoditas dunia yang harganya dipengaruhi dari pasar dunia.

Baca Juga

Di sisi lain, mayoritas produk CPO dari Indonesia dikonsumsi  pasar luar negeri. Kondisi pasar itu menyebabkan pengaruh global sangat kuat terhadap pergerakan harga minyak sawit.

"Karena mayoritas masih untuk ekspor, harga CPO tidak bisa lari dari harga minyak nabati lainnya, sehingga tidak benar jika perusahaan dalam negeri yang megatur harga," kata Bernard kepada Republika.co.id, Kamis (20/1/2022).

 

Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga, mengatakan,  Indonesia menjadi produsen minyak sawit (CPO) dunia dengan produksi tahunan mencapai lebih dari 46 juta ton setiap tahun. Meski demikian, Indonesia tak mampu mengendalikan harga ketika terjadi lonjakan harga CPO global yang turut berdampak pada naiknya harga berbagai produk turunannya, salah satunya minyak goreng.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indoensia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengungkapkan, Indonesia memang menjadi produsen terbesar sawit di dunia.

Meski demikian, karena tingkat konsumsi dalam negeri yang lebih kecil dari luar negeri, Indonesia tidak bisa menjadi penentu harga (price leader) dari sawit.

"Kami melihat, kita adalah produsen terbesar di dunia. Tapi, kita bisa menjadi price leader (penentu harga) apabila konsumsi domestik sudah mencapai 60 persen dari total produksi kita," kata Sahat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR, Rabu (19/1/2022).

Hingga 2021, Sahat mengungkapkan, porsi konsumsi pasar domestik terhadap produk minyak sawit sebanyak 35 persen dari total produksi. Itu sudah mengalami kenaikan dari 2019 lalu sebesar 31 persen. Adapun pada 2022, porsi konsumsi domestik diperkirakan naik menjadi 37 persen.

Meski terus mengalami kenaikan, porsi konsumsi domestik masih menjadi kendala bagi Indonesia untuk menjadi penentu harga dunia. Itu sebabnya, harga minyak goreng saat ini masih sangat tergantung pada situasi harga CPO global.

Sebagai informasi, harga CPO dunia saat ini menyentuh lebih dari 1.350 dolar AS per metrik ton (MT). Tingkat harga itu sudah mengalami kenaikan dua kali lipat lebih tinggi dari harga sebelum kenaikan sekitar 600-700 dolar AS per MT.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Kamis (1/20/2022), mengatakan terdapat sinyal kartel dalam fenomena kenaikan harga minyak goreng dalam negeri saat ini. Meski begitu, KPPU menyampaikan perlu penyelidikan lebih lanjut untuk dapat membuktikan secara fakta adanya praktik tersebut.

Berdasarkan olahan data KPPU, ada sejumlah produsen minyak goreng yang memiliki pangsa pasar tinggi. Terbesar memiliki pangsa 14 persen, 13,3 persen, 11 persen, 8,2 persen. Dari temuan itu, maka 46,5 persen rasio konsentrasi pangsa pasar dikuasai oleh empat perusahaan.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement