Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lulu Nugroho

Ketika Tuhan Bukan Orang Arab

Agama | Thursday, 20 Jan 2022, 09:27 WIB

Oleh Lulu Nugroho

Nabi Ibrahim pernah mencari Tuhan dalam kurun waktu yang panjang. Melihat pada satu kekuatan yang dianggap sebagai Tuhan, kemudian beralih pada kekuatan lain. Proses ini tidaklah mudah, sebab dibutuhkan pemikiran yang cemerlang untuk sampai kepada Zat yang patut disembah.

Begitu pun yang terjadi pada masyarakat Arab jahiliyah. Rontok semua kepercayaan pada Muhammad yang semula mereka beri gelar 'al Amin', ketika beliau bisa membuktikan keberadaan Allah, dan janji kebahagiaan yang hakiki berupa surga, serta ancaman neraka. Mereka sontak menantang Rasulullah sholallaahu 'alaihi wassallam dengan berbagai permintaan yang tak masuk akal kepada Tuhannya Muhammad.

Dari mulai membuat gunung-gunung berjalan agar negeri mereka menjadi luas, kemudian membuat sungai-sungai seperti yang ada di Syam dan Iraq, hingga menghidupkan kembali nenek moyang mereka yakni Qushai bin Kilab. Masyarakat jahiliyah menguji Rasulullah shollallaahu alaihi wassalaam untuk melakukan berbagai hal yang di luar nalar, sebab mereka tidak bisa lagi menandingi kebenaran logika yang dibawa Islam.

Mereka kecewa sebab Muhammad dengan cepat populer di kalangan Bangsa Arab, dengan membawa agama barunya. Mereka berusaha menjatuhkan Islam melalui berbagai permintaan yang tak masuk akal kepada Allah subhaanahu wa ta'ala, seperti mendatangkan malaikat untuk selalu mengiringi Muhammad saat berdakwah, agar terbukti beliau sebagai seorang utusan Allah.

Akan tetapi seluruh permintaan mereka ditolak oleh Rasulullah shollalaahu alaihi wassalam, sebab beliau diturunkan Allah sejatinya untuk menunjukkan keberadaan Allah subhaanahu wa ta'ala, dan membawa risalah bagi manusia. Sungguh sesat pikir penduduk Arab kala itu, kecewa pada Tuhannya Muhammad dan enggan beralih dari sesembahan mereka.

Bagi mereka, Tuhan mereka yang banyak itu lebih mudah dinego dan diajak kerja sama, ketimbang Allah subhaanahu wa ta'ala. Hubal si pemimpin tertinggi para berhala, akan dengan mudah mengampuni dosa para petinggi Bangsa Arab asalkan diberi sesembahan dan sesajen. Berbeda dengan Tuhannya Muhammad, yang ancaman nerakanya sangat menakutkan, dan surganya sulit dicapai.

Sungguh dunia kala itu, didominasi kesesatan. Kejahatan merajalela. Nilai-nilai buruk diemban bagaikan hal yang lumrah. Dunia terbalik. Orang baik dipersekusi, kebenaran diadili. Maka ketika saat ini masyarakat dibuat gaduh dengan logika keliru bahwa Tuhan bukan Orang Arab atau Tuhan tak perlu dibela, kembali menempatkan umat pada hiruk pikuk kedangkalan berpikir.

Selama Tuhan belum dilepaskan dari nilai keorangan, maka puzle kata menjadi tak terhubung. Tuhan pun tidak bisa dikaitkan dengan etnis tertentu. Ia zat yang berbeda dengan makhluknya. Karakter Khalik selamanya tidak akan identik dengan makhluk. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

"(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat."

(QS. Asy-Syura 42: Ayat 11).

Ketika Allah kuat, maka tidak akan sama dengan kekuatan yang ada pada manusia. Semua yang terkait dengan makhluk pasti berbeda dengan Khalik, tidak ada keserupaan. Hal ini memunculkan kesadaran bahwa tidak boleh ada yang menuhankan orang. Jika terjadi yang demikian berarti tidak masuk akal.

Meskipun Tuhan bukan Orang Arab, dan mendekati-Nya bisa menggunakan berbagai bahasa. Akan tetapi Alquran diturunkan dengan lisan Arab, maka menggunakan Bahasa Arab sejatinya mengembalikan kemuliaan Islam. Maka mengapa kita tidak mempelajari bahasa yang satu ini.

Sementara jauh di masa yang lampau, tatkala dunia Islam terpusat di Baghdad, Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar. Tidak hanya untuk mempelajari Islam, semua ilmu dan tsaqofah pun menggunakan Bahasa Arab. Maka setiap siswa yang ingin mempelajari ilmu tertentu, ia harus menguasai bahasa ini.

Bahkan kini ketika label buruk disematkan pada Bahasa Arab, tetap tidak menghilangkan keindahannya. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa bahasa Arab adalah bagian dari agama,

"Pelajarilah bahasa Arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” (Ibnu Taimiyah, Iqtidhā’ Shirātal Mustaqīm, hlm. 1/527-528, Tahqīq Syeikh Nashir Abdul karim Al-‘Aql).

Mengembalikan Bahasa Arab sejalan dengan upaya mengembalikan kemuliaan Islam. Sebab kitab yang paling mulia diturunkan (Al-Qur’an) kepada rasul yang paling mulia (Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam), dengan bahasa yang termulia (Bahasa Arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (Jibril). Diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (Tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (Ramadan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi. (Tafsīrul Qur’an Al-Azīm, 4/210).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image