Kamis 20 Jan 2022 04:24 WIB

Pemaksaan Perkawinan Diminta Masuk DIM RUU TPKS

Salah satu bentuk pemaksaan perkawinan adalah perkawinan pada anak.

Ketua DPR Puan Maharani menerima berkas laporan pandangan fraksi PAN yang diberikan oleh Anggota DPR Desy Ratnasari saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/1/2022). DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi RUU usulan inisiatif DPR RI. Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Ketua DPR Puan Maharani menerima berkas laporan pandangan fraksi PAN yang diberikan oleh Anggota DPR Desy Ratnasari saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/1/2022). DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi RUU usulan inisiatif DPR RI. Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Enam lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Indonesia Joining Forces (IFJ) meminta pemerintah memasukkan bentuk pemaksaan perkawinan pada DIM (daftar inventaris masalah) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pemaksaan perkawinan dinilai sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual.

"Kami merekomendasikan untuk memasukkan bentuk pemaksaan perkawinan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual pada DIM yang disusun pemerintah," ujar Ketua Eksekutif Komite IJF, Dini Widiastuti dalam Media Briefing soal RUU TPKS yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu (19/1/2022).

Baca Juga

Ia mengatakan, menghapus perkawinan anak memberi banyak dampak positif yang turut berkontribusi pada menghilangkan beberapa permasalahan yang dihadapi pemerintah. "Perkawinan pada anak menimbulkan banyak dampak negatif pada kesehatan anak yang menjadi korban perkawinan tersebut, seperti berpotensi melahirkan bayi stunting (kekerdilan), gizi buruk, berpotensi menderita kanker mulut rahim atau serviks, hingga kematian ibu saat melahirkan," katanya.

Perkawinan anak pada jangka panjang, lanjut dia, juga dapat menimbulkan dampak sosial dan ekonomi bagi pembangunan negara. Menurutnya, perkawinan anak tidak sedikit menyebabkan anak tidak dapat menyelesaikan wajib belajar 12 tahun, menjadi buruh murah hingga Indonesia kehilangan SDM berkualitas.

"Saat ini Indonesia menempati urutan terbesar kedua di ASEAN dan ke sepuluh di dunia, sebagai negara dengan angka perkawinan anak tertinggi," katanya.

Ia menambahkan, pihaknya juga merekomendasikan untuk memasukkan lebih rinci pencegahan dan penindakan kekerasan seksual berbasis gender online pada DIM. "Kecanggihan teknologi digital membuat anak sangat rentan untuk mendapatkan kekerasan seksual ataupun terjerumus dalam pelacuran, eksploitasi seksual komersial, maupun perbudakan seksual," tuturnya.

Ia mengharapkan, Kementerian/Lembaga terkait dan semuanya pihak untuk mendukung pengesahan RUU TPKS dan mengawal implementasinya agar dapat memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban. Dalam kesempatan itu, Dini mengapresiasi DPR RI yang telah mengesahkan RUU TPKS sebagai RUU Inisiatif DPR.

Ia juga mengapresiasi Badan Legislasi (Baleg DPR) yang bersedia memberikan kesempatan berdiskusi dan menerima masukan dari organisasi yang memperjuangkan hak anak. "Kami juga apresiasi kepada Presiden Joko Widodo yang mendorong percepatan pembahasan RUU TPKS," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement