Ahad 16 Jan 2022 22:41 WIB

Hukuman Mati Terdakwa Kasus Asabri Dinilai tak Beri Efek Jera

Kalau korupsi, sebenarnya yang menjadi hal utama adalah kerugian negara

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Andi Nur Aminah
Terdakwa kasus korupsi Asabri Heru Hidayat (kanan)
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Terdakwa kasus korupsi Asabri Heru Hidayat (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana menilai secara prinsip dan yuridis-positivis, tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus Asabri, Heru Hidayat oleh JPU tidak akan memberikan efek jera kapada para koruptor. Menurutnya, hukuman mati juga tidak berdampak pada penurunan angka kriminal atau tindak pidana korupsi.

"Kalau korupsi, sebenarnya yang menjadi hal utama adalah kerugian negara akibat tindakan korupsi itu. Jadi, menurut saya tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus korupsi tidak akan menyelesaikan akar masalah dari kasus korupsi," kata Dio Ashar Wicaksana dalam keterangan, Ahad (16/1).

Baca Juga

Dia berpendapat, yang paling penting dilakukan adalah mengejar aset pada terdakwa korupsi. Dia mengatakan, hal tersebut sekaligus dapat mengembalikan kerugian negara akibat pidana yang dilakukan para koruptor.

Lebih lanjut, Dio mengatakan bahwa hukuman mati terhadap terdakwa Heru Hidayat tidak bisa diterapkan. Menurutnya, hakim Pengadilan Tipikor juga bakal tidak menjatuhkan vonis hukuman mati jika benar-benar berpatokan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Harapannya Hakim menjatuhkan vonis sesuai Perma Nomor 1 Tahun 2020 itu saja. Kalau hukuman mati dalam kasus Asabri ini, Tidak masuk (tidak bisa diterapkan) jika hakim merujuk betul pada Perma Nomor 1 Tahun 2020," katanya.

Menurut Dio, tindak pidana korupsi dalam kasus Asabri tidak masuk kategori tindak pidana dalam keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dengan ancaman hukuman mati. Dia mengatakan, keadaan tertentu tersebut adalah bencana nasional, kondisi krisis ekonomi-moneter dan pengulangan tindak pidana. "Kalau mengikuti pedoman Perma Nomor 1 Tahun 2020, kasus Asabri tidak masuk dalam kondisi tertentu. Walaupun hakim bisa menyimpangi pedoman tersebut, tetapi syarat ketat," katanya.

Sebelumnya, The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) membuat laporan terkait kebijakan hukuman mati 2020 “Mencabut Nyawa di Masa Pandemi” yang dikeluarkan pada Oktober 2020. Dalam laporan tersebut ICJR telah menekankan bagaimana penjatuhan hukuman mati sama sekali tidak mempunyai dampak positif terhadap pemberantasan korupsi di suatu negara.

Hal ini terbukti berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019, negara-negara yang menduduki peringkat puncak atas keberhasilannya menekan angka korupsi nyatanya tidak sama sekali memberilakukan pidana mati sebagai pemidanaan bagi tindak pidana korupsi seperti Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia.

Kemudian Singapura yang juga tidak menerapkan hukuman mati untuk kasus korupsi berhasil menjadi negara dengan ranking IPK tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Sebaliknya, negara-negara yang masih menerapkan pidana mati termasuk untuk kasus korupsi malah memiliki nilai IPK yang rendah dan berada di ranking bawah termasuk Indonesia (peringkat 85), Cina (peringkat 80), dan Iran (peringkat 146).

Selama ini hukuman mati di Indonesia lebih cenderung digunakan sebagai narasi populis, seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi. Padahal faktanya tidak ada satu pun permasalahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati.

Contoh paling konkrit misalnya dari praktik kebijakan narkotika dengan mengusung slogan perang terhadap nakotika sejak 2015 yang secara agresif menerapkan hukuman mati, terbukti sama sekali tidak berimbas pada penurunan angka peredaran gelap narkotika sampai saat ini. Sektor narkotika yang selalu menggunakan narasi hukuman mati merupakan salah satu sektor penegakan hukum dan perlindungan warga negara paling bermasalah menurut banyak penelitian di Indonesia.

Tuntutan hukuman mati JPU terhadap terdakwa kasus Asabri Heru Hidayat juga sudah disoroti dan dikritik oleh LSM pegiat antikorupsi dan HAM seperti Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti ICW Kurnia Ramadhana hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi.

 Menurut dia, belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara. Dia melanjutkan, justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi tidak memberlakukan hukuman mati.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement