Kamis 13 Jan 2022 09:49 WIB

Dua Sisi Media Sosial Terkait Aktivitas Keagamaan

Media sosial bisa membawa dampak positif dan negatif

Media sosial bisa memberi dampak positif dan negatif. Foto postingan di medsos  (ilustrasi)
Foto: Republika
Media sosial bisa memberi dampak positif dan negatif. Foto postingan di medsos (ilustrasi)

Oleh : Muhammad Hafil, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Kemajuan teknologi, termasuk maraknya penggunaan media sosial bisa menjadi pisau dengan dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, media sosial bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan nilai-nilai positif, edukatif, dan inspiratif yang bermanfaat bagi sesama.

Saat ini, hampir semua lini kehidupan berhubungan dengan media sosial. Mulai dari urusan pendidikan, bisnis dan perdagangan, hingga agama. Maka, untuk hal ini media sosial bisa menjadi sisi yang positif.

Namun, media sosial juga bisa berbuah menjadi sisi negatif. Mudahnya masyarakat menyebarkan berita hoaks dan video tanpa etika seperti video korban kecelakaan tanpa sensor, hingga ceramah agama yang provokatif.

Salah satu peristiwa pemanfaatan media sosial untuk hal negatif itu yang saat ini tengah ramai dibicarakan adalah soal seorang pria yang dengan sengaja membuat video melecehkan sesajen di kawasan erupsi Semeru, Jawa Timur.

Dalam video yang viral itu, sang pria itu sambil menunjuk ke sesajenberkata: "Ini yang membuat murka Allah. Jarang sekali disadari bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah, hingga Allah menurunkan azabnya. Allahu Akbar," ucap pria tersebut.

Kemudian, tangan pria itu bergerak membuang sesajen buah dan menendang sesajen nasi. Kebetulan letak sesajen itu berada di atas permukaan tanah yang lebih tinggi sehingga kedua sesajen itu langsung jatuh.

Perilaku pria yang menggunakan simbol-simbol agama seperti memakai peci dan baju gamis itu sangat disayangkan.

Padahal, apa susahnya pria itu melakukan tabayyun atau klarifikasi sebelum bertindak membuat video itu. Karena tabayyun sangat dibutuhkan di zaman yang penuh fitnah ini.  Allah Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلىَ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasiq dengan membawa berita, maka periksalah dahulu dengan teliti, agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang telah kalian lakukan.” (QS. Al Hujurat : 6).

Intinya, yang diperlukan orang itu adalah tabayyun. Dia bisa mencari tahu siapa yang menaruh sesajen ini.

Bisa jadi yang menaruh sesajen itu adalah umat Non-Muslim yang memang ajarannya adalah memberikan sesajen. Seperti kita ketahui, di kawasan Semeru-Bromo itu ada suku Tengger yang juga banyak menganut agama selain Islam.

Atau, jika pun ternyata setelah dia mencari tahu dan mengklarifikasi bahwa yang menaruh sesajen itu adalah umat Islam, maka tidak juga bisa semena-mena dia mencaci maki seperti membuang-buang sesajen itu. Dia bisa memberikan nasihatnya secara lembut atau dengan cara yang arif, sebagaimana layaknya para ulama penyebar Islam di Nusantara.

Atau contoh lain dari sisi negatif, ada sebuah ceramah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, di mana, sebuah ceramah telah memicu kemarahan masyarakat. Karena, ada ceramah seorang tokoh agama yang menghina makam yang dikeramatkan masyarakat di sebuah kampung.

Meskipun, amarah dan tindakan warga tersebut juga tidak bisa dibenarkan secara hukum, tetapi, mengenai ini, ada baiknya sang ustadz menyadari bahwa saat ini siapapun bisa merekam sebuah peristiwa dengan handphone di sebuah pertemuan di ruang publik. Maka, dia seharusnya memberikan ceramah yang benar-benar sejuk tanpa provokatif.

Fikih informasi

Sebenarnya, aturan dan etika dalam bermedia sosial dan menerima informasi sudah dikeluarkan oleh sejumlah ormas Islam. Salah satunya adalah PP Muhammadiyah yang pada 2019 lalu mengeluarkan buku Fikih Informasi.

Fikih informasi merupakan kumpulan nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah) dan pedoman praktis (al-ahkam al-far’iyyah) menurut pandangan Islam mengenai informasi. Hal ini berdasarkan pada metodologi penggalian hukum Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Respons Muhammadiyah terhadap permasalahan sosial-kemanusiaan, tidak selalu dilakukan dengan introduksi norma-norma kongkret yang dilihat dari hukum taklifi (halal, haram, wajib, sunnah, makruh, mubah). Namun juga dengan cara menggali asas-asas agama yang menjadi pedoman dan nilai-nilai dasar kehidupan.

Dalam buku ini disebutkan, dalam berinformasi, setiap muslim dituntut bertanggung jawab, tidak tendensius, cermat, memegang teguh etika, memperhatikan manfaat dan mudharat, serta melakukan verifikasi. Sebaliknya, Fikih Informasi juga memberikan rambu supaya tidak: berdusta, mencari aib, fitnah, ghibah, namimah, mencela, bullying, ujaran kebencian, permusuhan, pornografi, dan kemaksiatan

Dengan demikian, sudah seharusnya umat Islam memperhatikan fikih informasi atau etika-etika dalam informasi, khususnya di media sosial. Sehingga, hal-hal yang yang merugikan atau dampak negatif dari media sosial bisa diminimalisir atau dicegah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement