Senin 10 Jan 2022 05:39 WIB

Presidential Threshold Nol Persen, Konstitusionalkah?

Mengkaji tuntutan presiden threshold Nol Persen

Debat Capres pada Pemilu 2019
Foto: Republika/Prayogi
Debat Capres pada Pemilu 2019

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Dr Margarito Kamis, SH. M.Hum, Pakar Hukum Tata Negara Staf Pengajar FH. Univ. Khairun Ternate 

Pemohonan judicial review atas konstitusionalitas pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Presiden, terus bergerak memasuki ruang pendaftaran permohonan Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak hanya perorangan, ada yang juga yang berkelompok, bahkan  belakangan partai politik juga maju sebagai pemohon. 

Dua partai yang telah dan akan mengambil bagian dalam perlombaan ini adalah partai Gelora dan partai Ummat. Keduanya berstatus hukum sebagai partai politik yang telah berbadan hukum, tetapi belum berstatus sebagai peserta pemilu. Ini sungguh sangat menantang dilihat dari sudut pemikiran ilmu hukum tata negara.

Arus permohonan yang terus bergerak naik itu, boleh jadi dirangsang oleh kalkulasi politik. Atmosfir politik yang ingin dicapai adalah betapa bobroknya presidential threshold itu, menguat. MK, sebagai konsekuensinya, sulit menemukan ruang berkelit. 

Apalagi kalau kenyataan pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang tidak menulis angka-angka persentase didalamnya, berhasil didramatisasi. Tetapi rasionalkah itu? Itu soal lain. Dilihat dari sudut ilmu hukum tata negara, menggunakan kenyataan pasal 6A ayat (2) sebagai pijakan kokoh mendesak presidential threshold 0%, bisa ditertawakan.

Baca juga : Tujuh Foto di Saku Veteran Sakit Hati dan Sejarah Kekejaman Belanda di Bali

UUD Amerika Serikat tidak memiliki ketentuan, apalagi exprecis, yang mengatur dan memberi kewenangan kepada Supreme Court memeriksa perkara judicial review. Tetapi apa yang sejarah suguhkan? Sejarah ketatanegaraan Amerika menulis Supreme Court memeriksa dan memutus perkara judicial review yang diajukan oleh Marbury. 

Kasus ini dikenal luas dengan Marbury vs Madison. Ini kasus ini judicial review pertama dalam tata negara Amerika modern. Kasus ini diajukan ke Supreme Court segera setelah Presiden Thomas resmi menjalankan pemerintahannya pada awal April 1801, dan diputus pada tahun 1803.  

UUD 1945, disisi lain, tetapi mirip dalam substansinya dengan UUD Amerika, tidak mengatur secara nyata Mahkamah Konstitusi bukan subyek pengawasan Komisi Judicial. Sama sekali tidak ada. UUD 1945 jelas menulis Mahkamah ini berkapasitas dan berkualifikasi hukum sebagai badan peradilan. Hebatnya, MK malah menemukan hukum yang mirip dengan hukum yang ditemukan oleh Supreme Court Amerika. Hukum yang ditemukan MK adalah MK bukan subyek pengawasan KY. Titik.

Ilmu hukum, bukan ilmu politik, dan juris bukan politisi. Ilmu hukum punya aksioma khas, dan ilmu ini membekali ahli hukum dengan metodologi dan teknis interpretasi. Ilmu ini juga mendekorasi eksistensinya dengan kaidah membaca dan mamahami teks-teks hukum.  

Baca juga : Juru Parkir Dukung Ganjar Pranowo di Pilpres 2024

Salah satu aksiomanya adalah ketika kata, teks  atau konsep jelas, interpretasi tidak diperlukan. Interpretasi berakhir pada saat teks, kata atau konsep dalam pasal jelas. Sebaliknya, ketika kata, teks dan atau konsep tidak jelas, interpretasi dimulai. 

Menariknya aktifitas interpretasi, dalam bentuk appaun dan sesederhana apapun, bukan dan tidak dapat disamakan dengan translate. Benar-benar tidak bias. Judicial review pertama pada Supreme Court Amerika, dan putusan MK bahwa  MK bukan subyek pengawasan KY, jelas merupakan konstruksi hukum, sebagai bagian akhir dari interpretasi. Tidak di luar itu, apapun argumennya. 

Praktis Mahkamah harus melakukan interpretasi. Interpretasi atas apa? Jelas, yang diinterpretasi adalah konsep-konsep pada pasal yang terdapat dalam UUD. Sebabnya konsep dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak jelas. Ilmu hukum mengharuskan hakim mengawali pemeriksaan permohonan judicial review ini dengan terlebih dahulu menginterpretasi pasal 6A ayat (2) UUD 1945 itu. Ini imperative. 

Konyol bila tidak dilakukan. Interpretasi, begitu ilmu hukum menyerukan, tidak pernah dimaksudkan lain selain dan hanya itu, menemukan pemahaman atas maksud dikehendaki, atau menjadi maksud utama konsep –kata atau norma- pasal 6A ayat (2) yang tidak jelas itu. 

Interpretasi, sebagai konsekuensinya, merupakan inferensi untuk memperoleh pemahaman atas makna atau maksud dibalik pasal, yang nyata-nyata dikehendaki oleh pembentuknya. Hakim harus memulai interpretasi dari teks. Dua teks utama yang wajib diinterpretasi adalah “partai politik atau gabungan partai politik.” 

Baca juga : Fraksi PDIP DPRD DKI Protes UMP DKI 2022, tapi Setuju Kenaikan Tunjangan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement