REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.
Foto di atas dari abad XIX M, seorang ambtenaar Belanda dengan congkak duduk di kursi, sementara perempuan native berdiri, dan ada juga yang duduk di tanah.
Apa yang mau ditunjukan Belanda adalah pameran kekuasaan.Tapi bagainana pun mana baik mana buruk akan ketahuan. Becik ketitik olo ketoro. Itulah prinsip yang dipegang kebanyakan rakyat yang tak dapat diartikan pasrah.
Perlawanan rakyat bersenjata sejak Sultan Agung 1628-29 sampai Kaiyin bapa Kayah Tangerang 1924 menolak khayal bahwa Indonesia dijajah 350 tahun. Selama 300 tahun Indonesia tak sunyi dari perlawanan rakyat. Yang mereka lawan keserakahan dan kesombongan kekuasaan.
Het ist een historische vraag, mengapa dalam sejarah Indonesia performance kekuasaan dan keserakahan serta kesombongan menjadi sebuah esensi. Sehingga kesombongan dan keserakahan harus gemanifesteerd sebagai fungsi kekuasaan. Seolah manifestasi kekuasaan seperti itu.
Perlawanan rakyat adalah natuurwet (hukum alam), karena ini sebuah proses reequilibrium (keseimbangan baru) semesta alam, karena geometri equilibrium terganggu dengan adanya keserakahan dan kesombongan yang menimbulkan kontraksi disequilibrium semesta alam.
Pada suatu hari di tahun 1980-an saya duduk-duduk di rumah Mr Mohamad Roem ex Menlu yang menjadi jubir Konfrensi Meja Bundar (KMB0, pada tahun 1949. Saya mulai percakapan dengan bertanya pada Mr Roem.
Ridwan Saidi: Kenapa KMB begitu lama sampai tiga bulan?
Mr Roem: Kami harus menghitung Klaim kerugian Belanda dalam masa menjajah Indonesia.
Ridwan Saidi: Belanda merugi waktu jajah Indonesia?
Mr Roem: Karena Belanda habis ongkos untuk hadapi perlawanan rakyat.
Ridwan Saidi: Apa RI membayar klaim seperti itu?
Mr Roem: Saya jawab, mungkinkah kami mau mengeluarkan uang untuk mengganti uang tuan-tuan yang tuan-tuan pakai membeli peluru untuk nembunuh nenek moyang kami? Ik wil niet. Saya tak mau.
*****
Ketika usai menjawab seperti itu, tampak Mr Roem tertunduk. Ia penuh perasaan menyampaikan kata-kata tadi. Saya tertunduk pula, tak terasa air mata menetes. Dan kala itu tak terbayang pula bagaimana Indonesia puluhan tahun ke depan.
Di ujung reformasi, semalam tanggal 8 Desember 2022 saya membaca Pikiran Rakyat yang memberitakan hasil riset Asian Development Bank. ADB dalam penelitiannya menemukan 22 juta rakyat Indonesia dalam keadaan kelaparan kronis.
Ya Allah.