Sabtu 08 Jan 2022 23:57 WIB

Pakar: Perhitungan Kerugian Negara di Kasus Korupsi tak bisa dengan Total Loss

Pakar mengatakan perhitungan kerugian di kasus korupsi tak bisa dengan total loss

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Palu hakim (Ilustrasi).
Foto: EPA
Palu hakim (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Administrasi Negara, Dian Puji Nugraha Simatupang, mengatakan bahwa perhitungan kerugian negara tidak bisa dengan total loss saja. Dia berpendapat bahwa kerugian negara harus dihitung secara nyata dan pasti.

"Apa yang disampaikan Hakim Mulyono itu sangat tepat secara teori dan juga dari sisi konsep pengaturan kerugian negara," kata Dian Puji Nugraha Simatupang dalam keterangan, Sabtu (8/1).

Baca Juga

Dian menanggapi dissenting opinion anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Mulyono Dwi Purwanto dalam kasus Asabri. Menurutnya, metode total loss untuk penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan BPK dalam kasus Asabri kurang tepat.

Menurutnya, total loss tidak dikenal lagi sejak ada Pasal 39 PP Nomor 38 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/Daerah terhadap Pegawai Negeri Bukan Bendahara atau Pejabat Lain. Dia mengatakan, Pasal 39 PP itu dikatakan penentuan nilai kekurangan dari penyelesaian kerugian negara/daerah dilakukan berdasarkan nilai buku atau nilai wajar atas barang yang sejenis.

"Dalam hal baik nilai buku maupun nilai wajar dapat ditentukan, maka nilai barang yang digunakan adalah nilai yang paling tinggi di antara kedua nilai tersebut," ujarnya.

Dian mengatakan, seharusnya dalam mengidentifikasi ada tidaknya kerugian negara dalam kasus Asabri, BPK juga merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248 Tahun 2016 yang mengatur soal pengelolaan jaminan TNI-Polri. Lanjutnya, terdapat aturan yang lebih tinggi yang menegaskan bahwa perhitungan kerugian keuangan negara haruslah berdasarkan kerugian nyata dan pasti.

Hal itu, sambung dia, yakni UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Putusan Mahkamah Konstitusi soal frasa "…dapat merugikan keuangan negara' dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang dinyatakan tidak berlaku lagi. Dia melanjutkan, apalagi adanya PP 38/2016 tidak bisa dihitung dengan total loss karena menurut UU 1/2004 dan putusan MK kerugian negara itu harus nyata dan pasti.

Dia juga menilai perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Asabri nilai totalnya melebihi dari yang didakwakan. Menurutnya, seharusnya dihitung dari tindakan yang dilakukan terdakwa berakibat pada jumlah kerugian sekian rupiah.

Dia mengatakan, sehingga terdakwa dituntut pertanggungjawaban sesuai dengan kerugian keuangan negara yang diakibatkan dari tindakannya. Bukan kemudian kalau dijumlah berapa, ditotal-total ternyata lebih yang didakwakan, jadi membingungkan.

Lebih lanjut, menurutnya, makna dissenting opinion dari Hakim Mulyono dalam kasus Asabri yang menjadi dasar kuat bagi para pihak untuk mengajukan banding maupun kasasi terhadap putusan pengadilan. Dia mengatakan, lainnya adalah baik BPK, penyidik atau siapapun yang bertugas menghitung kerugian negara harus betul-betul mengikuti dan sesuai peraturan perundang-undangan.

"Kalau tidak mengikuti peraturan, buat apa adanya penegakan hukum karena penegakan hukum konsepnya harus berdasarkan hukum," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement