Sabtu 08 Jan 2022 03:40 WIB

Pengamat Nilai Pandemi Masih Ganggu Pertumbuhan Ekonomi 2022

Masuknya varian omicron akan berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi nasional.

Suasana proyek pembangunan di kawasan Center Point of Indonesia (CPI), Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (4/1/2022). Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2022 berada pada kisaran 5 hingga 5,5 persen dengan perkiraan laju inflasi di bawah tiga persen dan nilai tukar rupiah dikisaran Rp14.500 hingga Rp15.000 per dollar AS.
Foto: ANTARA/Abriawan Abhe
Suasana proyek pembangunan di kawasan Center Point of Indonesia (CPI), Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (4/1/2022). Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2022 berada pada kisaran 5 hingga 5,5 persen dengan perkiraan laju inflasi di bawah tiga persen dan nilai tukar rupiah dikisaran Rp14.500 hingga Rp15.000 per dollar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi yang juga Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat bahwa pandemi COVID-19 yang masih berlangsung di tahun 2022 dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Gangguan pertumbuhan ini diikuti oleh ketidakpastian munculnya varian virus baru.

"Apakah masih jadi ganjalan? Jawabannya adalah, ya. Kita sudah selesai dengan varian delta, muncul varian baru lagi," kata Bhima dalam webinar bertajuk 'Masihkah Pandemi Akan Mengganggu Pertumbuhan Ekonomi 2022' yang dipantau di Jakarta, Jumat (7/1/2022).

Baca Juga

Bhima menilai munculnya varian Omicron dan kini sudah masuk ke Indonesia dengan tingkat penularan yang tinggi akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi nasional. Bahkan sekalipun kasus Omicron di Indonesia cukup terkendali, namun kasus Omicron di luar negeri seperti Eropa dan Amerika Serikat yang masih tinggi akan tetap berdampak pada Indonesia.

Tingginya kasus COVID-19 varian Omicron di negara lain, kata Bhima, akan berpengaruh pada sistem logistik. "Tapi harus waspada kalau ekspor ke Amerika, Eropa, atau negara dengan tingkat kasus Omicron cukup tinggi akan berpengaruh pada pembatasan sosial dan logistik. Jadi untuk ekspor permintaan ada, tapi barangnya sampai tiga bulan ke depan," katanya.

Selain itu, Bhima juga menilai bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi melemah. "Isunya bukan lagi seberapa cepat ekonomi Indonesia pulih, tapi lebih fundamental lagi. Ternyata pasca pandemi ketimpangan semakin lebar, yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin," katanya.

Hal itu, kata dia, disebabkan oleh dampak digitalisasi di mana masyarakat ekonomi atas bisa mengakses berbagai hal secara daring, sementara masyarakat miskin yang pekerjaannya tidak bisa dilakukan melalui jarak jauh atau Work From Home (WFH) terbebani dengan kondisi pandemi.

Riset dari Bank Dunia menunjukkan bahwa 24 persen rumah tangga ekonomi atas menikmati digitalisasi untuk meningkatkan pendapatannya selama pandemi. Sementara masyarakat kalangan paling bawah atau miskin hanya 1 persen yang pendapatannya naik karena digitalisasi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement