Jumat 07 Jan 2022 10:43 WIB

Korban Penculikan Anak 30 Tahun Lalu Bertemu Ibu Kandung Berkat Peta Desa

Li Jingwei yang diculik saat usia 4 tahun rajin gambar peta desa agar tak lupa rumah

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Li Jingwei yang diculik saat usia 4 tahun rajin gambar peta desa agar tak lupa rumahnya. (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Li Jingwei yang diculik saat usia 4 tahun rajin gambar peta desa agar tak lupa rumahnya. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING  -- Sejak kecil, Li Jingwei tidak mengetahui nama aslinya. Dia tidak tahu di mana dia dilahirkan atau berapa umurnya dengan pasti. Namun itu terkuak ketika menemukan keluarga kandungnya bulan lalu dengan bantuan peta yang sudah lama diingat.

Li adalah korban perdagangan anak. Pada 1989 ketika dia berusia empat tahun, seorang tetangga botak membujuknya pergi dengan mengatakan mereka akan pergi melihat mobil yang langka di desa-desa.

Baca Juga

Momen itu adalah terakhir kali Li melihat rumahnya. Tetangganya membawanya ke belakang bukit menuju jalan yang sudah ada tiga sepeda dan empat penculik lainnya sedang menunggu. Dia menangis, tetapi mereka membawanya dan pergi.

"Saya ingin pulang tetapi mereka tidak mengizinkannya. Dua jam kemudian, saya tahu saya tidak akan kembali ke rumah dan saya pasti bertemu orang jahat," ujar Li mengingat momen tersebut.

Li ingat dibawa naik kereta api. Akhirnya dia dijual ke sebuah keluarga di provinsi lain, Henan. "Karena saya terlalu muda, baru empat tahun, dan saya belum sekolah, saya tidak bisa mengingat apa pun, termasuk nama orang tua dan kampung halaman," katanya.

Terukir dalam ingatannya hanya pemandangan desanya di barat daya kota Zhaotong, provinsi Yunnan. Dia ingat gunung, hutan bambu, kolam di sebelah rumahnya, semua tempat dia biasa bermain.

Setelah penculikan, Li mengatakan dia menggambar peta desanya setiap hari sampai dia berusia 13 tahun agar tidak lupa. Sebelum dia mencapai usia sekolah, dia akan menggambar desanya di tanah dan setelah masuk sekolah dia mulai menggambarnya di buku catatan. Kegiatan itu, menurut Li, menjadi sebuah obsesi.

Dia memutuskan untuk berbicara dengan orang tua angkatnya untuk mendapatkan petunjuk dan berkonsultasi dengan database DNA, tetapi tidak ada yang muncul. Kemudian dia menemukan sukarelawan yang menyarankan agar dia menunggah video dirinya di Douyin, sebuah platform media sosial, bersama dengan peta yang dia gambar dari ingatan.

Hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk menggambar ulang bentuk tepat yang telah dia gambar ratusan, mungkin ribuan kali sebagai seorang anak. Unggahan itu mendapat puluhan ribu tampilan.

Pada saat itu, Li mengatakan polisi telah mempersempit lokasi berdasarkan sampel DNA dan peta yang digambar tangannya membantu penduduk desa mengidentifikasi sebuah keluarga. Li akhirnya terhubung dengan ibunya melalui telepon. Dia bertanya tentang bekas luka di dagunya yang katanya disebabkan oleh jatuh dari tangga. "Ketika dia menyebutkan bekas luka itu, saya tahu itu dia," kata Li.

Dalam reuni emosional pada Tahun Baru, Li melihat ibu kandungnya untuk pertama kali sejak berusia empat tahun. Saat Li berjalan ke arahnya, dia ambruk di tanah dengan emosi. Diangkat oleh adik laki-laki dan perempuannya, dia akhirnya memeluk ibunya.

Li tersedak ketika berbicara tentang ayahnya yang telah meninggal. "Ini akan menjadi reuni besar yang nyata. Aku ingin memberitahunya putranya telah kembali," ungkapnya ketika berencana mengunjungi kuburan ayah kandungnya.

Lebih dari 30 tahun setelah penculikan, gambar lanskap desanya yang teliti membantu polisi menemukan tepat tempat itu berada dan melacak ibu kandung serta saudara kandung Li. Dia terinspirasi untuk mencari keluarga kandungnya setelah dua reuni pertemuan keluarga yang terpisah menjadi berita utama tahun lalu.

Pada Juli, seorang ayah Guo Gangtang, bersatu dengan putranya setelah mencari selama 24 tahun. Pada Desember, Sun Haiyang bertemu kembali dengan putranya yang diculik setelah 14 tahun.

Laporan penculikan anak terjadi secara teratur di China,meskipun seberapa sering terjadi tidak ada data yang jelas. Masalah ini diperparah dengan pembatasan yang hingga 2015 mengizinkan sebagian besar pasangan perkotaan hanya memiliki satu anak.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement