Jumat 07 Jan 2022 00:49 WIB

Sebut Rusia Agresor, Inggris Siapkan Sanksi Jika Serang Ukraina

Inggris memperingatkan serangan militer Rusia ke Ukraina memicu konsekuensi besar

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Bendera Inggris
Foto: Andi Rain/EPA-EFE
Bendera Inggris

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengungkapkan, negaranya siap menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia jika mereka melancarkan serangan ke Ukraina. Inggris, kata Truss, siap berkoordinasi dan bekerja dengan mitra Barat-nya terkait hal tersebut.

“Kami tidak akan menerima kampanye yang dilancarkan Rusia untuk menumbangkan tetangganya yang demokratis,” kata Truss di hadapan parlemen Inggris, Kamis (6/1/2022).

Baca Juga

Menurut Truss, Rusia “sengaja” menyebut Ukraina sebagai ancaman untuk membenarkan sikap agresif mereka. “Rusia ada agresor di sini. NATO selalu menjadi aliansi defensif,” ujarnya.

Dia memperingatkan, setiap serangan militer Rusia lebih lanjut ke Ukraina bakal memicu konsekuensi besar. “Ini termasuk sanksi terkoordinasi guna mengenakan konsekuensi yang parah pada kepentingan dan ekonomi Rusia,” ucapnya.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg telah menjadwalkan pertemuan khusus dengan duta besar sekutu dan pejabat tinggi Rusia. Mereka hendak membahas upaya pencegahan konflik di Ukraina.

Pertemuan tersebut rencananya digelar di Brussels, Belgia, pada 12 Januari mendatang. “Setiap dialog dengan Rusia harus dilanjutkan atas dasar timbal balik, mengatasi kekhawatiran NATO tentang tindakan Rusia, serta berlangsung dalam konsultasi dengan mitra Eropa NATO,” kata pejabat NATO, Selasa (4/1/2022).

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova telah mengonfirmasi tentang akan digelarnya pertemuan dengan NATO di Brussels. Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov dan pejabat senior Rusia lainnya dijadwalkan menghadiri pertemuan tersebut.

Baca: Jepang Berang, Pangkalan Militer AS di Negaranya Jadi Klaster Covid-19

Situasi di perbatasan Ukraina-Rusia memang tengah dibekap ketegangan. Hal itu terjadi karena adanya pengerahan pasukan oleh Rusia. Pada 2014, Moskow mencaplok dan menduduki Semenanjung Krimea. Tindakan tersebut diambil setelah mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, yakni Viktor Yanukovych, lengser. Dia digulingkan setelah rakyat Ukraina menggelar demonstrasi selama tiga bulan tanpa jeda.  

Baca: Kazakhstan Memanas, AS dan PBB Serukan Semua Pihak Menahan Diri

 

Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.

Baca: Pandemi Buat Indonesia Prioritaskan Diplomasi Kesehatan pada 2022

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement