Kamis 06 Jan 2022 21:08 WIB

Seorang Polisi Berpangkat Kompol Raih Gelar Doktor Kriminolog UI Predikat Cumlaude

Supriyanto temukan kebaruan dalam kasus kejahatan First Travel dan Koperasi Pandawa.

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Endro Yuwanto
Polisi dari Polda Metro Jaya, Kompol Supriyanto, berhasil meraih gelar doktor dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Departemen Kriminologi, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI), Kamis (6/1/2022).
Foto: Istimewa.
Polisi dari Polda Metro Jaya, Kompol Supriyanto, berhasil meraih gelar doktor dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Departemen Kriminologi, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI), Kamis (6/1/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Seorang polisi dari Polda Metro Jaya, Kompol Supriyanto, berhasil meraih gelar doktor dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor Departemen Kriminologi, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP UI). Supriyanto berhasil meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude.

Sidang disertasi Supriyanto dipimpin oleh Prof. Drs. Adrianus E Meliala, PhD, Prof Dr. Semiarto Aji, Prof. Dr. Topo Santoso, Prof. Dr. Indriyanto Seno, Prof. Dr. Marcus Priyo, Dr. Dra. Ni Made Martini, Dr. Vinita Susanti, dan Dr. Iqrak Sulhin.

Baca Juga

Supriyanto berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Determinan Kejahatan Kerah Putih: Criminaloid dan Organizational Criminogenic Elaborasi Terhadap Kasus-Kasus Kejahatan Finansial di Indonesia.

"Saya berhasil menyelesaikan studi dalam waktu 3,5 tahun, dengan IPK 3,72," ujar Supriyanto yang saat ini menjabat sebagai Kasubbagmutjab Bangbinkar RO SDM Polda Metro Jaya di Kampus FISIP UI Depok, Kamis (6/1/2022).

Menurut Supriyanto, dalam disertasinya dipaparkan determinan pendorong pelaku kejahatan finansial, di antaranya ialah faktor sosio-ekonomi, yang mengacu kepada nature of industry. Gambaran nature of industry di antaranya ialah menawarkan kemudahan, memberikan harga murah serta keuntungan yang berlimpah dalam waktu yang singkat; sedangkan affinity frauds, merujuk pada eksploitasi isu agama yang dapat menarik minat karakteristik masyarakat Indonesia.

"Determinan lainnya ialah karakteristik sosio-ekonomi korban di Indonesia. Serta terdapat juga kondisi penegakan hukum dan politik yang cenderung koruptif, sehingga dari sisi individu pelaku dan korporasi akan menjadikan kondisi tersebut sebagai jalan yang menetralisasi serta “melegitimasi” perilaku menyimpang mereka," papar Supriyanto.

Lanjut Supriyanto, objek penelitiannya yakni dalam kasus First Travel (FT) dan Koperasi Pandawa yang telah memenuhi enam aspek criminaloid, yaitu pertama tidak ditemukan karakteristik fisik dan psikologis tertentu seperti egoisme yang tinggi, kedua para pelakunya telah menerapkan teknik netralisasi yaitu denial of responsibility, denial of injury, denial of victim, condemn the condemners, appeal to higher loyalties, dan denial of responsibility.

"Ketiga pengendalian diri yang rendah dan rasionalisasi yang tinggi terhadap kejahatan sehingga memberikan keyakinan dalam melakukan kejahatan. Keempat pengakuan palsu atas sosok yang terpengaruh budaya hedonisme dan alternative hedonism. Kelima rendahnya sensitivitas moral dan kecerdasan, dalam hal ini berkaitan dengan moral force yang terkait dengan attachment; involvement; commitment; dan belief," jelas Supriyanto.

Lalu, lanjut Supriyanto, keenam status sosial dan budaya yang sifatnya overconfidence and over-appreciation for self- authority. "Saya telah membuktikan bahwa criminaloid telah berkontribusi dalam kejahatan korporasi, khusus pada kejahatan finansial penggelapan. Dinamika dalam criminaloid di antaranya ketiadaan karakteristik fisik dan psikologis; keraguan dalam bertindak; mudahnya memberikan pengakuan; sensitivitas moral; kecerdasan dan status sosial serta budaya," ucapnya.

Terkait hal tersebut pun, Supriyanto telah menemukan bahwa konteks pekerjaan atau profesi yang digunakan merujuk pada pelanggaran yang terjadi selama kegiatan kerja berlangsung dan berkaitan dengan pekerjaan.

"Maka dari itu, kejahatan tersebut dilakukan dengan menciptakan dan memanfaatkan kesempatan melalui legitimasi pekerjaan. Kondisi ini yang mendorong dinamika organizational criminogenic dalam kejahatan korporasi tumbuh subur dan sulit diterka. Dinamika dalam organizational criminogenic antara lain adalah orientasi profit, keberlangsungan bisnis, pencapaian target, loyalitas kelompok, persepsi bisnis, dan distribusi tanggung jawab pimpinan korporasi," jelas Supriyanto.

Lebih jauh, Supriyanto menemukan bahwa fokus dalam organizational criminogenic adalah celah dalam proses korporasi, aspek pengawasan, yang bertemu dengan dorongan motivasi keuntungan pribadi.

Dalam kasus kejahatan finansial FT dan Koperasi Pandawa, Supriyanto menemukan kebaruan bahwa penyebab terjadinya kejahatan, tidak ada satu determinan yang paling dominan. Namun penyebabnya justru karena aspek criminaloid dan organizational criminogenic yang berkelindan dalam satu kasus yang sama, serta kehadiran determinan lainnya yang menghubungkan criminaloid dan organizational criminogenic, sehingga menimbulkan kejahatan, yaitu aspek situational criminogenic.

Peneliti melihat bahwa motivasi melakukan kejahatan finansial adalah keuntungan. Motivasi memperoleh keuntungan hadir di dalam pribadi individu yang memiliki kecenderungan criminaloid serta hadirnya tempat, berupa sebuah perusahaan, sebagai wadah untuk mengumpulkan keuntungan yang memiliki kecenderungan organizational criminogenic.

Ketika dua aspek tersebut terdapat dalam satu wadah yang sama, yang kemudian berkelindan dengan determinan situational criminogenic, seperti nature of industry, affinity frauds, serta karakteristik sosio-ekonomi Indonesia, maka muncullah korban-korban dari First Travel dan Koperasi Pandawa. "Hasilnya, pada aspek criminaloid didapati pelaku memiliki kecenderungan untuk mudah memberikan pengakuan, memiliki status sosial dan budaya tertentu, sensitivitas moral, memiliki kecerdasan, serta keterampilan, namun ragu dalam bertindak," kata Supriyanto.

Sedangkan, untuk aspek organizational criminogenic, didapati pelaku berada pada lingkungan dengan ambisi keuntungan, memiliki persepsi bisnis tertentu, bersikap loyal terhadap kelompoknya serta sumber daya manusia yang cenderung homogen. Melalui hasil penelitian ini, ditemukan bahwa kejahatan finansial dapat terjadi karena dua aspek kejahatan, yaitu criminaloid dan organizational criminogenic bertemu dengan situasi (situational criminogenic) yang mendukung terjadinya kejahatan finansial.

"Temuan dalam disertasi ini diharapkan mampu membantu aparat penegak hukum baik kepolisian atau otoritas keuangan, tidak hanya melihat kejahatan finansial dari satu sisi saja, namun melihat dari sisi yang kompleks dalam kejahatan korporasi, sebagaimana yang menjadi hasil penelitian ini. Kemudian, pemerintah juga dapat mempertimbangkan dinamika situational criminogenic sebagai faktor-faktor yang dapat mendukung terjadinya kejahatan korporasi," tegas Supriyanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement