Rabu 05 Jan 2022 09:00 WIB

Hari Kiamat dan Imam Mahdi

I’tiqad Muhammadiyah tentang Hari Kiamat dan Imam Mahdi

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
I'tiqad Muhammadiyah tentang Hari Kiamat dan Imam Mahdi - Suara Muhammadiyah
I'tiqad Muhammadiyah tentang Hari Kiamat dan Imam Mahdi - Suara Muhammadiyah

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Izinkan saya seorang kader muda Muhammadiyah memohon fatwa kepada Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkenaan dengan perkara-perkara berikut:

Demikan, mohon kiranya Majelis Tarjih dan Tajdid berkenan menjawabnya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Luqman Amirudin Syarif (disidangkan pada Jum’at, 23 Muharram 1429 H / 1 Februari 2008 M dan 9 Rabiul Awal 1430 H / 6 Maret 2009 M)

Jawaban:

Artinya: “(ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku …” [QS. Ali Imran (3): 55]

Sehubungan dengan ayat ini, sebahagian mufassir / para ulama berpendapat dengan mena’wilkan ayat tersebut dengan apa yang diistilahkan mereka dengan “taqdim ta’khir” (mendahulukan dan mengemudiankan), diberikan arti sebagai berikut:

إِنِّي رَافِعَكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمُتَوَفِّيكَ بَعْدَ أَنْ تَنْزِلَ مِنَ السَّمَاءِ، أَيْ أَنَّهُ رَفَعَهُ إِلَى السَّمَاءِ حَيًّا بِجِسْمِهِ وَرُوحِهِ وَسَيَنْزَلُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ، فَيَحْكُمُ بِشَرِيعَةِ الإِسْلاَمِ ثُمَّ يُمِيتُهُ اللهُ.

Artinya: “Sesungguhnya Aku (Allah) mengangkatmu kepada-Ku, mensucikanmu dari (tipu daya) orang-orang kafir dan (Aku) mewafatkan kamu sesudah kamu turun dan langit,” artinya bahwasannya Allah mengangkatnya ke langit dalam keadaan hidup jasad dan ruhnya dan kelak dia akan turun pada akhir zaman, lalu dia menghukum dengan syariat Islam kemudian Allah mematikannya.

Pendapat ini untuk menampung sejumlah hadis shahih yang mengatakan bahwa Isa a.s. akan turun ke bumi pada akhir zaman, sekalipun hadis-hadis itu tidak sampai kepada derajat mutawatir.

Adapun sebahagian mufassir / ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perkataan “التوفى” (diwafatkan) adalah الأَمَاتَةُ اْلعَادِيَةُ yang artinya kematian biasa (fisik), sedangkan “الرفع” adalah رَفْعُ الرُّوحِ وَاْلمَكَانَةِ لاَ اْلمَكَانَ كَمَا قَالَ تَعَالَى فَي شَأْنِ إِدْرِيسَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًا , yang artinya pengangkatan ruh (Isa) dan kedudukannya, bukan tempat (dalam arti fisik) sebagaimana firman Allah swt mengenai keadaan Nabi Idris a.s.: “Dan telah kami angkat dia (Idris) dalam kedudukan yang tinggi (mulia)

Dalam masalah Isa a.s. ini Muhammadiyah condong kepada pendapat yang kedua dan memandang tidak perlu adanya “taqdim dan ta’khir”, karena tidak ada kerumitan dalam memahami ayat 55 surat Ali lmran di atas, dengan meminjam ucapan pengarang Tafsir al-Manar:

إِنَّ مُخَالَفَةَ التَّرْتِيبِ فِي الذِّكْرِ لِلتَّرْتِيبِ فِي اْلوُجُودِ لاَ يَأتِي فِي اْلكَلاَمِ الْبَلِيغِ إِلاَّ لِنَكْتَةٍ، وَلاَ نَكْتَةَ هَذَا لِتَقْدِيمِ التُّوُفِّيِ عَلَى الرَّفْعِ إِذْ الرَّفْعُ هَوَ اْلأَهَّمُ لِمَا فِيهِ مِنَ اْلبِشَارَةِ بِالنَّجَاةِ وَرِفْعَةِ اْلمَكَانِ.

Artinya: “Bahwa perbedaan tertib (urutan) dalam sebutan itu untuk memberi pengertian tertib dalam wujudnya tidak tampil dalam perkataan yang baligh kecuali karena ada kerumitan, dan di sini tidak ada kerumitan untuk mendahulukan kematian atas pengangkatan, justru pengangkatan itu yang lebih penting karena di dalamnya mengandung berita gembira dengan kemenangan dan tinggi kedudukan itu.”

Mengenai kemunculan Dabbah dan Ya’juj Ma’juj, hal itu diyakini sepenuhnya oleh Muhammadiyah karena diterangkan oleh al-Qur’an, masing­-masing dalam surat an-Naml ayat 82 dan dalam surat al-Anbiya ayat 96-97, sekalipun secara mujmal dan mubham tanpa ada rinciannya. Sedangkan Dajjal, tidak disebutkan dalam al-Qur’an, tetapi disebutkan dalam hadits-hadits shahih dan hampir mendekati derajat mutawatir, atau paling tidak bersifat masyhur.

Paham tentang Imam Mahdi pada mulanya termasuk rekayasa dan strategi Syiah Imamiyah untuk mengimbangi kerajaan Bani Umayyah yang memerintah dengan penuh penindasan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib pada waktu itu. Sementara menunggu munculnya Imam Mahdi, maka dunia ini dipimpin oleh tokoh-tokoh spiritual Syiah yang kasat mata (rijalul qhaib) yang susunannya terdiri dari seorang Quthub atau Qhaus yang diberi nama Insan Kamil, empat orang Autad sebagai menteri, tujuh orang Abdal, dua belas orang Nukaba’ dan tiga ratus orang Nujaba.

Dengan mudah dapat dibantah bahwa kerajaan batin itu yang dikendalikan oleh orang-orang kasat mata tersebut (rijalul qhaib) pada hakikatnya tidak ada, itu hanya imajinasi orang Syiah, tidak bisa diterima oleh akal dan naql (Syara). Begitu pula dengan Imam Mahdi yang dalam masyarakat Jawa disebut Ratu Adil. Muhammadiyah tidak meyakini adanya Imam Mahdi, karena tidak berdasar kepada dalil-dalil yang mutawatir.

Menurut Ibnu Khaldun, bahwa cerita tentang Imam Mahdi sangat simpang siur sumbernya dari golongan Syiah, tidak jelas ujung pangkalnya. Soal Imam Mahdi oleh musuh-musuh Islam dipakai sebagai senjata untuk merusak Islam, seperti adanya klaim dari Mirza Ghulam, di samping sebagai Nabi juga sebagai Mahdi.

Memang terdapat beberapa riwayat yang dinilai bertolakbelakang dan ternilai dhaif dengan kebanyakan riwayat yang membicarakan seputar masalah ini. Riwayat-riwayat yang lemah dan bertolakbelakang dengan riwayat-riwayat yang kuat itu di antaranya:

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّايَاتِ السُّوْدِ قَدْ جَاءَتْ من قِبَلِ خُرَاسَانَ فَأْتُوهَا فَإِنَّ فِيْهَا خَلِيْفَةُ اللهِ اْلمَهْدِيِّ. [رواه أحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Tsauban, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila kalian melihat panji-panji hitam datang dari Khurasan maka datangilah meskipun dengan merangkak di atas es, karena di dalamnya ada khalifah Allah, (yaitu) al-Mahdi.” [HR. Ahmad]

Dalam sanad riwayat ini terdapat Ali bin Zaid yang dinilai oleh para ulama kritikus hadits sebagai dha’if. Bahkan ia banyak memiliki riwayat munkar yang hanya diriwayatkan olehnya. Jadi keseluruhan periwayatannya tidak bisa dijadikan argumen. Hadits ini juga digunakan oleh Bani Abbas (Dinasti Abbasiyah) sebagai justifikasi bahwa al-Mahdi akan muncul dari kelompok mereka, di mana keyakinan mereka ini bertentangan dengan banyak riwayat yang lebih kuat bahwa al-Mahdi yang sebenarnya akan muncul dari keturunan Nabi (ahlu bait) yang mempunyai nama yang sama dengan Nabi dan nama bapak Nabi, Muhammad bin Abdullah.

Namun demikian, jika ditelisik lebih seksama ternyata banyak ulama seperti al-Hafizh Abu Hasan al-Abiri dan Imam asy-Syaukani juga Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu al-Qayim al-Jauziyah berpendapat bahwa hadits-hadits yang membicarakan tema ini memang mayoritas derajatnya ahad. Tetapi jika ditinjau secara menyeluruh akan ditemukan kandungan satu hadits mendukung hadits lain. Baik kandungan khusus (seperti hadits yang menceritakan ciri-ciri fisik al-Mahdi) maupun kandungan umum. Terkadang ada hadits yang membicarakan asal usulnya (al-Mahdi) dari keturunan Nabi saw, lalu ada hadits lain yang menerangkan kondisi kehidupan saat al-Mahdi memimpin. Jika kita urutkan, maka kita akan dapati semacam keselarasan yang sama-sama menerangkan bahwa al-Mahdi akan keluar di akhir zaman (kandungan umum). Dengan demikian dari segi kandungan khusus, maka hadits semisal yang menerangkan ciri fisik al-Mahdi berstatus ahad, namun dari segi kandungan umum, maka hadits ini adalah mutawatir ma’nawi. Dan derajat mutawatir ma’nawi ini telah menjadi ijmak ulama untuk menerimanya.

Di antara beberapa riwayat mutawatir ma’nawi itu ialah;

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «المَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِي مِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ. [رواه أبو داوود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Al-Mahdi berasal dari keluargaku dari anak Fatimah.” [HR. Abu Dawud]

عَنْ عَبْدِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إلاَّ يَوْمٌ لَطَوَّلَ اللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ  ثُمَّ اتَّفَقُوا حَتَّى يَبْعَثَ رَجُلاً مِنِّي أوْ مِنْ أهْلِ بَيْتِي يُوَاطِىءُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أبِيهِ اسْمَ أبِي. [رواه أبو داوود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Seandainya dunia hanya tinggal sehari, Allah pasti akan memanjangkan hari itu sampai Allah mengutus seorang laki-laki dariku, atau dari keluargaku, yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku.” [HR. Abu Dawud]

Imam asy-Syaukani berpendapat; “Hadits-hadits mengenai kedatangan al-Mahdi al-Muntazhar yang bisa diteliti sebanyak lima puluh. Di antaranya ada yang shahih, hasan, dan dha’if. Riwayat-riwayat ini mutawatir tanpa ada keraguan dan kerancuan di dalamnya.” (Shadiq Hasan Khan dalam al-Idza’ah: 113-114 menukil dari al-Taudhih fi Tawatur Ma Ja’a fi al-Mahdi al-Muntazhar wa al-Dajjal wa al-Masih oleh Imam asy-Syaukani).

Berdasarkan keterangan di atas, kami berpendapat bahwa keyakinan terhadap al-Mahdi merupakan bagian dari keyakinan terhadap hal-hal ghaib adalah benar menurut hadis-hadis mutawatir ma’nawi. Akan tetapi, terkait dengan fenomena munculnya klaim-klaim dari pihak-pihak tertentu yang mengaku-aku sebagai al-Mahdi, maka kami menyarankan agar umat Islam berhati-hati dan tidak mudah percaya pada klaim-klaim seperti tersebut di atas yang tidak jelas kebenarannya. Umat Islam hendaknya bersikap kritis dan terus mengkaji persoalan-persoalan seperti ini melalui sumber-sumber yang jelas, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.

Wallahu a’lam bishshawab

Sumber: Majalah SM No 7 Tahun 2009

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement