Selasa 04 Jan 2022 16:22 WIB

PSA IPB Beberkan Persoalan Ketimpangan Agraria di Indonesia

Dalam reforma agraria, pemerintah baru melampaui target dalam hal legalisasi aset.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Bilal Ramadhan
Petani merawat tanaman porang di Dusun Babakan, Desa Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (4/1/2022). Kementerian Pertanian menargetkan luas tanam umbi porang pada tahun 2024 akan mencapai 100 ribu hektare dibandingkan saat ini yang baru 10 ribu hektare lahan.
Foto: Antara/Adeng Bustami
Petani merawat tanaman porang di Dusun Babakan, Desa Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (4/1/2022). Kementerian Pertanian menargetkan luas tanam umbi porang pada tahun 2024 akan mencapai 100 ribu hektare dibandingkan saat ini yang baru 10 ribu hektare lahan.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Pusat Studi Agraria (PSA) IPB University menjabarkan persoalan ketimpangan agraria di Indonesia. Banyak konflik yang disebabkan oleh reformasi agraria hampir merata di Indonesia, dimana yang paling besar berasal dari sektor perkebunan.

Hal tersebut disampaikan Kepala PSA IPB University, Bayu Eka Yulian. Menurutnya dalam hal reforma agraria pemerintah harus fokus pada redistribusi aset.

“Skala prioritas mendudukan reforma agraria agar fokus pada redistribusinya, mengkoreksi ulang distribusi lahan yang timpang dan tidak adil. Karena ini sangat kompleks,” ujar Bayu.

Bayu menjelaskan, dalam reforma agraria, pemerintah baru melampaui target dalam hal legalisasi aset. Akan tetapi penemuan dengan redistribusi aset, baru mencapai sekitar 29,33 persen.

“Saat ini kecenderungan persawahan di desa mengalami penurunan. Data menunjukan sektor perkebunan paling tinggi. Dari data sensus pertanian tahun 2003-2013, ada lima juta petani kecil hilang. Para petani tersebut beralih profesi ke sektor informal di luar pertanian dan usaha-usaha industri dan jasa,” ujarnya.

Oleh karena itu, sambung dia, PSA IPB ke depan harus berfokus pada hulu dan hilir, serta bekerjasama dengan gerakan agraria lainnya. Berdasarkan arahan dari dewan pembina PSA IPB, kolaborasi kolaborasi dan transdisiplin harus diterapkan dalam mengatasi persoalan agraria yang sangat kompleks.

“Makanya kita main di beberapa sisi, hulu dan hilir, kemudian perbaikan tata kelola dan jangan lupa reforma agraria fokus ke redistribusi lahan. Mengkoreksi struktur agraria yang timpang. Jangan sekadar legalisasi aset,” tegasnya.

Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) IPB, Ernan Rustiadi, mengatakan PSA IPB masih punya pekerjaan rumah terkait dengan reforma agraria, khususnya reforma agraria di perkotaan.

Dia menjelaskan, kepemilikan lahan pertanian oleh gurem di Indonesia berada di bawah rata-rata negara Asia lainnya, yang karakteristiknya pertaniannya dikuasai oleh petani kecil.

“Di Jepang, penguasaan lahan pertanian oleh petani minimal 2,5 hektar. Demikian juga di Thailand. Sehingga Thailand yang produktif sawahnya hanya di bawah tiga ton per hektar, masih bisa surplus karena kepemilikan lahan petaninya 6 hingga 10 kali lipat rata-rata kepemilikan lahan petani Indonesia,” paparnya akhir pekan lalu.

Namun di Indonesia, lanjut dia, selain lahan pertanian pangannya yang sempit, ada masalah struktural keagrariaan. Banyak lahan yang sebenarnya sesuai potensinya untuk pangan tetapi tidak ditangani, tidak dikelola dengan baik dan terlantar.

Dari sisi pengembangan wilayah, tanah terlantar dan banyak tanah potensial tapi tidak termanfaatkan, hal ini merupakan bentuk sumberdaya yang tidak tertata.

“Kebijakan pemerintah terkait reforma agraria dan perhutanan sosial ini ternyata belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan,” ucap Ernan.

Pakar IPB University, Hariadi Kartodiharjo, menambahkan banyaknya konflik agraria antara kapital besar dengan masyarakat masih menjadi catatan tersendiri. Penguasaan skala besar menunjukkan ekspansi kapital skala besar ke wilayah pedesaan sebagai tempat untuk mencari lahan murah.

“Sehingga menjadi penting untuk mengangkat diskursus keuangan berkelanjutan dalam bisnis sumberdaya alam yang terutama terkait dengan tanah. Aspek dari Environmental, Social, and Governance (ESG) menjadi penting untuk diketahui oleh para orang dana agar lebih bijak dalam memberikan permodalan kepada perusahaan skala besar,” pungkasnya.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement