Selasa 04 Jan 2022 09:15 WIB

Momentum Baru Merdeka Belajar

Guru sebagai pendidik harus mengubah paradigma belajar agar berpusat kepada siswa

Seorang siswa muda berdiri di depan kelasnya di sebuah sekolah dasar di Depok, Indonesia, 03 Januari 2022.
Foto: EPA-EFE/ADI WEDA
Seorang siswa muda berdiri di depan kelasnya di sebuah sekolah dasar di Depok, Indonesia, 03 Januari 2022.

Oleh : Sugiharti, M.Pd (Guru SMKN 3 Bandung)

REPUBLIKA.CO.ID, Tidak ada pesta tahun baru, bukan berarti tak ada semangat baru. Pesta tahun baru yang bisa menimbulkan kerumunan, memang tidak diizinkan pemerintah. Hal ini terkait dengan upaya untuk mencegah melonjaknya kasus Covid-19. Terlebih, pada penghujung tahun 2021, varian omicron telah mulai merebak di Tanah Air. Meski demikian, kondisi ini jangan sampai melemahkan semangat kita untuk menghadapi berbagai hal sepanjang tahun 2022 nanti.

Pada awal tahun ini, sekolah akan memasuki semester baru, yaitu semester genap. Rerata sekolah telah menyiapkan skema pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT). Kebijakan PTMT diambil guna mengatasi lost learning selama pandemi Covid-19. 

Sebagaimana kita maklumi, saat ini kita berada pada era “Merdeka Belajar”. Maka, momen tahun baru, semester baru, dan PTMT kiranya dapat menjadi penyulut semangat guru dan siswa untuk memulai era baru pembelajaran.

Kebijakan “Merdeka Belajar” yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia merupakan sebuah terobosan bidang pendidikan dan pembelajaran sebagai upaya menguatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Konsepnya bersumber dari filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD).

Menurut KHD, “Pendidikan itu menuntun anak untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiannya baik sebagai pribadi, maupun sebagai anggota masyarakat”. Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah “Mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri).” Dalam aktivitas pembelajaran, guru harus menciptakan suasana yang menyenangkan dan membahagiakan siswa agar merasakan kebebasan dalam belajar. 

Untuk menguatkan “Merdeka Belajar” pada PTMT, guru sebagai pendidik harus mau mengubah paradigma pembelajarannya agar berpusat pada siswa. Guru perlu merancang dan mengimplementasikan metode dan strategi pembelajaran yang paling bermanfaat untuk meningkatkan proses belajar siswa. Proses belajar dalam “Merdeka Belajar” bertujuan untuk mencapai Profil Pelajar Pancasila yang memiliki prinsip pembelajar sepanjang hayat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, berkebinekaan global, dan memiliki jiwa bergotong royong.

Setiap guru harus memahami nilai dan perannya sebagai pendidik. Mereka harus tergerak untuk melakukan perubahan positif. Setelah itu, mewujudkannya dengan bergerak menjadi pemimpin pembelajaran yang memberikan keteladanan, menginspirasi, dan memotivasi siswa. “Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani” jangan hanya menjadi slogan, tetapi harus diimplementasikan dalam pembelajaran. Bukan hanya menggerakkan siswa, ia juga harus dapat menggerakkan komunitas atau guru lainnya agar bersinergi dalam mewujudkan “Merdeka Belajar”.

Kini, saatnya guru memiliki visi diri yang kuat. Visi guru mengajar sebaiknya berfokus pada siswa berdasarkan perkembangan belajarnya secara individual. Gali dan kenali potensi-potensi baik yang ada pada dirinya sehingga dapat menentukan visi diri sebagai seorang pendidik. Guru harus mampu mengartikulasikan visinya yang akan mengarahkannya dalam memerdekakan belajar siswa. Jalin kolaborasi yang melibatkan pihak-pihak untuk mewujudkan visi tersebut.

Dalam implementasi “Merdeka Belajar” saat ini, masih banyak yang mempersoalkan tentang pendisiplinan. Tak jarang orang memperdebatkan soal disiplin dalam “Merdeka Belajar”, seolah kata disiplin sudah tidak penting lagi dalam era belajar saat ini. Tentu saja hal ini harus diluruskan. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa “Di mana ada kemerdekaan, di situlah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menguatkan “Merdeka Belajar”, perlu diciptakan budaya positif. Budaya positif di sekolah sangatlah penting untuk mengembangkan anak-anak agar memiliki karakter yang kuat, sesuai dengan profil pelajar Pancasila. 

Budaya positif di sekolah akan terbentuk jika semua warga sekolah, baik guru maupun siswanya memiliki nilai diri dan keyakinaan untuk mendisplinkan diri yang motivasinya timbul dari dalam (pihak internal), bukan dari luar (pihak eksternal). Tujuan penerapan disiplin positif adalah menanamkan motivasi pada siswa agar menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Mereka akan tetap berperilaku baik dan berlandaskan nilai-nilai kebajikan karena mereka ingin menjadi orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang mereka hargai.

Setiap tindakan atau perilaku yang kita lakukan di dalam kelas dapat menentukan terciptanya sebuah lingkungan positif. Perilaku warga kelas yang positif menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif. Agar terbentuk budaya positif, perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas. Penyatuan pemikiran untuk mendapatkan nilai-nilai kebajikan serta visi sekolah tersebut kemudian diturunkan di kelas-kelas menjadi keyakinan kelas yang disepakati bersama.

Ketika ada kasus siswa yang berperilaku tidak sesuai dengan keyakinan kelas, guru harus berupaya untuk membantu siswa memperbaiki kesalahannya. Prinsipnya, tidak berfokus pada kesalahan itu, tetapi pada proses perbaikannya. Tidak ada penghukuman, tidak perlu membuat siswa merasa dipermalukan atas kesalahannya. Yang diperlukan adalah pengondisian agar siswa dapat memperbaiki kesalahan yang dilakukan melalui restitusi sehingga ia dapat kembali pada kelompoknya dengan perasaan yakin dan bahagia.

Restitusi merupakan proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan sehingga mereka bisa kembali pada kelompoknya dengan karakter yang lebih kuat (Gossen, 2004). Restitusi memiliki tahapan yang disebut segitiga restitusi, yaitu: menstabilkan identitas, memvalidasi kesalahan, dan menanyakan keyakinan. Analisis kasus kesalahan anak dengan cermat.  Pahami kebutuhan dasar siswa yang menjadi sebab ia melakukan kesalahan. Posisikan diri sebagai manajer yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki diri dengan motivasi kuat dari dalam dirinya.

Memanfaatkan momen tahun baru dan semester baru untuk menguatkan “Merdeka Belajar” pada saaat PTMT tentu sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas belajar siswa. Perlu komitmen yang kuat dari para pendidik dan warga sekolah untuk mewujudkannya. Semoga semuanya dapat bersinergi untuk menciptakan budaya positif di sekolah yang akan menguatkan semangat “Merdeka Belajar” sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement