Senin 03 Jan 2022 22:27 WIB

Kemendikbud Klaim PJJ Beri Tekanan Besar Bagi Siswa, Orang Tua, dan Guru

Pemerintah mendorong sekolah melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) 100 persen.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Andri Saubani
Pelajar mengikuti kegiatan Pembelajaran Tatap Muka di SDN 01 Pondok Labu, Jakarta Selatan, Senin (3/1). Berdasarkan kebijakan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang diputuskan pada 21 Desember 2021 mengenai panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) dengan kapasitas 100 persen mulai hari ini Senin (3/1).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pelajar mengikuti kegiatan Pembelajaran Tatap Muka di SDN 01 Pondok Labu, Jakarta Selatan, Senin (3/1). Berdasarkan kebijakan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri yang diputuskan pada 21 Desember 2021 mengenai panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) dengan kapasitas 100 persen mulai hari ini Senin (3/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong satuan-satuan pendidikan untuk kembali melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Sebab, ternyata pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sebelumnya dilakukan memberikan tekanan yang cukup besar terhadap peserta didik, orang tua, dan juga guru.

"Kita mendorong sekolah-sekolah untuk kembali melaksanakan PTM meskipun tetap dilaksanakan secara terbatas karena pandemi yang masih belum hilang. PJJ yang sebelumnya kita lakukan ternyata juga memberikan tekanan yang cukup besar, tidak hanya pada anak, tapi juga pada orang tua dan guru," ujar Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, Suharti, dalam diskusi daring, Senin (3/1).

Baca Juga

Suharti menerangkan, studi yang dilakukan oleh Bank Dunia juga menunjukkan penurunan kemampuan siswa yang terjadi selama periode kebijakan sebelumnya, yang mencapai sampai 0,8 sampai 1,3 tahun pembelajaran. Menurut dia, angkat tersebut sudah termasuk besar melihat periode pandemi yang berlangsung.

"Ini sangat besar sekali dengan hanya pandemi yang belum juga dua tahun tetapi penurunannya bisa mencapai bahkan lebih dari satu tahun," kata dia.

Suharti kemudian menjelaskan, kesenjangan pembelajaran antara anak-anak yang berasal dari kelompok keluarga mampu dengan keluarga miskin juga semakin jauh, melebar hingga 10 persen. Mereka yang berasal dari kelompok mampu memiliki sumber daya yang memungkinkan untuk belajar dari rumah, baik sarana maupun pendidikan orang tua yang dapat mengajarkan anaknya di rumah.

Sementara keluarga yang tidak mampu atau keluarga-keluarga miskin, kata dia, mempunyai keterbatasan dalam menyediakan sumber daya untuk mendidik anaknya di rumah. Selain itu, menurut Suharti, orang tua mereka juga pada umumnya tidak memiliki pendidikan yang cukup sehingga tidak bisa memberikan bimbingan sebaik keluarga yang tergolong ke dalam kelompok mampu.

"Oleh karena itu kita perlu lagi-lagi berupaya memulihkan pembelajaran dan kembali membuka sekolah meskipun dilakukan terbatas," kata dia.

 

Sementara itu, Plt Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Kartini Rustandi, menyatakan, situasi kasus Covid-19 memang menurun belakangan ini, tapi hal tersebut tidak boleh menjadikan semua pihak lupa diri atau terlena. Sebab, berdasarkan data yang dia miliki, kasus Covid-19 pada anak banyak terjadi pada usia 7-12 tahun, 16-18 tahun, kemudian 13-15 tahun.

"Artinya, anak-anak kita yang sedang dalam usia sekolah. Dan tentunya ini menjadi perhatian kita, terlebih pada saat ini kasus Omicron sudah masuk di Indonesia. Kita tahu kasus Omicron merupakan kasus yang memang tidak terlalu berat, tetapi sangat mudah menyebar," jelas dia.

 

Merefleksi pelaksanaan PTM terbatas yang dilakukan pada 2021, Kartini mengungkapkan sejumlah penyebab terjadinya penularan terhadap para peserta didik di sekolah. Pertama, menurut Kartini, kontaminasi terjadi dari guru yang positif Covid-19. Dia mengungkapkan, sejauh ini masih ada guru yang belum mendapatkan vaksinasi.

"Demikian juga dengan pegawai sekolah. Tapi tidak tertutup kemungkinan kontaminasi dari siswa atau keluarga siswa atau anak didik kita. mereka tidak punya gejala, tetapi sering kali mereka menjadi penular," kata Kartini.

Kartini mengungkapkan, penyebab dari kontaminasi yang berasal dari siswa ialah sekolah tidak melakukan pemeriksaan terhadap siswa yang bergejala, seperti batuk, pilek, dan bersuhu lebih tinggi dari suhu normal. Anak yang sedang merasa tidak enak badan, tetap melakukan kegiatan di sekolah.

Dia melihat, hal yang paling sering terjadi di lingkungan sekolah sehingga menyebabkan risiko penularan Covid-19 adalah penerapan protokol kesehatan yang longgar. Penggunaan PeduliLindungi dan pemeriksaan suhu dilakukan ketika peserta didik masuk ke lingkungan sekolah, tapi setelah itu penggunaan masker dan menjaga jarak dengan baik tidak dilakukan.

"Kemudian ruangan diisi dengan orang yang cukup padat. Aliran udaranya tidak baik. Artinya protokol kesehatan kita tidak dilakukan dengan baik," jelas dia.

Selain itu, dia juga melihat satuan tugas (satgas) yang ada tidak berjalan dengan baik, baik yang ada di dalam sekolah maupun satgas di lingkungannya. Tidak berjalannya pemberian sanksi dan belum selesainya pelaksanaan vaksinasi guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik juga dia sebut sebagai salah satu hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut ke depannya.

"Kadang-kadang nggak enak hati atau memang juga karena sangat sibuk sehingga tidak diberikan sanksi. Dan tentunya pelaksanaan vaksinasi bagi guru dan tenaga kependidikan dan juga anak didik yang belum selesai," terang dia.

Pada Senin (3/1) ini, Pemprov DKI Jakarta mencatat sebanyak 10.429 sekolah di Ibu Kota melaksanakan PTM dengan kapasitas 100 persen. Jumlah itu setara dengan 97,2 persen dari total jumlah sekolah yang ada di DKI Jakarta.

"Ini sesuai dengan SKB empat menteri, juga ketentuan dari dinas terkait," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria di Balai Kota Jakarta, Senin.

photo
Ibadah di sekolah sebaiknya tetap memperhatikan protokol kesehatan. - (Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement