Senin 03 Jan 2022 18:06 WIB

Pakar: Peralihan Premium ke Pertalite Butuh Waktu Dua Tahun

jika shifting premium ke pertalite ini dibuat secara bertahap, tidak akan bermasalah

Rep: dadang kurnia/ Red: Hiru Muhammad
 Petugas memegang keran pompa bensin jenis Pertalite di SPBU. (ilustrasi). Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memiliki research octane number (RON) rendah disinyalir menjadi salah satu penyebab pencemaran lingkungan. Karena itu, pemerintah Indonesia berencana melakukan transisi perpindahan energi (shifting energy) ke BBM dengan RON di atas 91 yang lebih ramah lingkungan.
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Petugas memegang keran pompa bensin jenis Pertalite di SPBU. (ilustrasi). Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memiliki research octane number (RON) rendah disinyalir menjadi salah satu penyebab pencemaran lingkungan. Karena itu, pemerintah Indonesia berencana melakukan transisi perpindahan energi (shifting energy) ke BBM dengan RON di atas 91 yang lebih ramah lingkungan.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memiliki research octane number (RON) rendah disinyalir menjadi salah satu penyebab pencemaran lingkungan. Karena itu, pemerintah Indonesia berencana melakukan transisi perpindahan energi (shifting energy) ke BBM dengan RON di atas 91 yang lebih ramah lingkungan.

BBM jenis Premium yang memiliki RON 88 akan digantikan BBM Pertalite yang memiliki RON 90. Kemudian BBM jenis Pertalite secara bertahap akan dihapus. Sehingga nantinya hanya ada BBM jenis Pertamax dengan RON 91 atau 92, dan BBM jenis Pertamax Turbo dengan RON 95.

Baca Juga

Pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Gigih Prihatono menuturkan, Indonesia saat ini memang memerlukan energi lebih ramah lingkungan. Mengingat, ancaman terhadap perubahan iklim sudah cukup nyata di depan mata. “Menurut perkiraan saya, Indonesia membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk benar-benar shifting ke pertalite,” ujarnya di Surabaya, Senin (3/1).

Kendati demikian, kata dia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Saat ini Indonesia sedang mengalami proses pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19. Dimana pandemi menyebabkan daya beli masyarakat di level bawah menjadi turun.

Salah satu komponen hajat hidup orang banyak adalah terkait BBM. Sehingga ketika peraturan tersebut diterapkan tanpa melihat proses pemulihan yang sedang berjalan, ditakutkan dapat mengurangi atau membebani masyarakat paling miskin. “Menurut saya, jika shifting premium ke pertalite ini dibuat secara bertahap, tidak akan menjadi terlalu banyak masalah bagi perekonomian masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Gigih melanjutkan, mitigasi risiko paling umum terkait rencana kebijakan tersebut adalah terkait dengan beban masyarakat kecil yang semakin tinggi. Pemerintah harus memberikan perlindungan terkait hal tersebut dengan beberapa program sosial seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk meredam dampak negatif yang timbul akibat shifting BBM. “Kemudian jika shifting diterapkan di masyarakat kota, dikhawatirkan dalam jangka pendek akan memicu timbulnya inflasi,” ujarnya.

Ia menjelaskan, saat ini biaya BBM adalah salah satu komponen besar di dalam komponen bisnis suatu perusahaan terutama di sektor transportasi dan logistik. Lonjakan Inflasi tersebut harus dimitigasi sejak awal oleh pemerintah. Tujuannya agar tren inflasi yang cukup stabil di level tiga persen bisa tetap berlanjut ke depan

Dalam jangka panjang, kata dia, kemungkinan besar yang akan terkena dampak adalah masyarakat. Transportasi publik di kota besar harus dipercepat dari segi kuantitas dan kualitas. Dengan begitu, masyarakat bisa memiliki pilihan untuk memakai kendaraan sendiri dengan biaya lebih mahal atau memilih menggunakan kendaraan umum. “Untuk kota-kota besar yang ada Indonesia, distribusi BBM relatif lancar. Namun tidak dengan distribusi BBM di kota kota kecil sehingga memerlukan perhatian lebih,” kata dia.

Menurut Gigih, shifting energi diharapkan tidak hanya berlaku untuk transportasi umum saja. Tetapi juga untuk alat lain yang memiliki emisi yang besar. Jika tujuan shifting untuk dekarbonisasi, kendaran usia tua atau yang memiliki emisi di ambang batas, perlu ada aturan agar alat-alat tersebut tidak boleh ada di jalan.“Sumber emisi mereka jauh mengotori daripada teknologi mesin yang saat ini. Karena mesin sudah tua, dari segi kecepatan juga akan mengganggu lalu lintas di jalan,” kata dia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement