Senin 03 Jan 2022 10:13 WIB

Rusia Siap Kerja Sama dengan AS Selesaikan Isu Ukraina

AS secara terbuka telah menyatakan dukungannya terhadap Ukraina.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Anggota Gerakan Nasional Kadet Tentara Muda Rusia tetap dalam formasi saat mereka menandai peringatan ke-80 Pertempuran Moskow, di Taman Patriot di luar Moskow, Rusia, Minggu, 5 Desember 2021.
Foto: AP/Pavel Golovkin
Anggota Gerakan Nasional Kadet Tentara Muda Rusia tetap dalam formasi saat mereka menandai peringatan ke-80 Pertempuran Moskow, di Taman Patriot di luar Moskow, Rusia, Minggu, 5 Desember 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia mengaku siap bekerja sama dengan Amerika Serikat (AS) untuk menyelesaikan isu terkait Ukraina. Kendati demikian, Moskow menekankan, tak ada alternatif untuk masalah tersebut selain Perjanjian Minsk.

"Di pihak kami, kami siap bekerja sama dalam format apa pun berdasarkan prinsip bahwa tidak ada alternatif selain Perjanjian Minsk yang didukung Washington," kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Andrey Rudenko saat diwawancara kantor berita Rusia, TASS, Ahad (2/1).

Baca Juga

Dia mengisyaratkan adanya kesepahaman antara Moskow dan Washington bahwa konflik di Ukraina timur tak dapat diselesaikan tanpa memberikan status khusus kepada Donbass. Hal itu, kata Rudenko, turut disampaikan Presiden AS Joe Biden saat melakukan pertemuan bilateral virtual dengan Presiden Rusia Vladimir Putin bulan lalu.

"Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Politik Victoria Nuland juga mengonfirmasinya selama kunjungannya ke Moskow pada Oktober," ungkap Rudenko.

Dia pun menyinggung tentang keengganan Ukraina menerapkan Perjanjian Minsk. Menurutnya, hal itu memberikan dasar bagi kerja sama Rusia-AS dalam menyelesaikan konflik domestik di Ukraina.

AS telah secara terbuka menyatakan dukungannya bagi Ukraina dalam menghadapi potensi serangan Rusia. Washington pun sudah memperingatkan tentang konsekuensi berupa sanksi jika Moskow melancarkan agresi terhadap Kiev. Sama seperti AS, Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pun berdiri bersama Ukraina.

Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak Februari 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych.

Dia dimakzulkan setelah gelombang demonstrasi berlangsung tanpa henti selama tiga bulan. Massa memprotes keputusan Yanukovych membatalkan kerja sama dengan Uni Eropa. Keputusan tersebut ditengarai akibat adanya tekanan Moskow. Rusia memang disebut tak menghendaki Kiev lebih dekat atau bergabung dengan Uni Eropa.  

Ukraina membentuk pemerintahan baru pasca-pelengseran Yanukovych. Namun Rusia menentang dan memandang hal tersebut sebagai kudeta. Tak lama setelah kekuasaan Yanukovych ditumbangkan, Moskow melakukan aksi pencaplokan Semenanjung Krimea.

Kala itu terdapat kelompok pro-Uni Eropa dan pro-Rusia di Ukraina. Kelompok separatis pro-Rusia merebut sebagian besar dua wilayah timur Ukraina yang dikenal sebagai Donbass. Pertempuran pun berlangsung di sana.

Pada 2015, Rusia dan Ukraina, bersama Prancis serta Jerman, menyepakati Minsk Agreements. Salah satu poin dalam perjanjian itu adalah dilaksanakannya gencatan senjata total di wilayah timur Ukraina. Namun, Moskow dianggap tak mematuhi dan memenuhi sepenuhnya perjanjian tersebut. Hal itu menyebabkan Rusia dijatuhi sanksi ekonomi oleh Uni Eropa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement