Rabu 29 Dec 2021 20:58 WIB

Rp 2,9 M Laporan Gratifikasi Jadi Milik Negara

Sepanjang 2021 KPK menerima laporan gratifikasi dengan total nilai Rp 7,9 miliar.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri (kedua kiri) didampingi Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (kedua kanan), Nurul Ghufron (kiri) dan Juru Bicara KPK Ali Fikri (kanan) saat menyampaikan keterangan pers terkait kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2021 di Gedung Murah Putih, KPK, Jakarta, Rabu (29/12). Sepanjang tahun 2021 KPK telah melakukan upaya penindakan tindak pidana korupsi diantaranya penyelidikan 127 perkara, penyidikan 105 perkara, penuntutan 108 perkara, inkracht 90 perkara, eksekusi putusan 94 perkara dan jumlah tersangka 123 orang. Dari penanganan perkara tersebut, KPK berhasil melakukan asset recovery sebesar Rp 374,4 miliar. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri (kedua kiri) didampingi Wakil Ketua KPK Alexander Marwata (kedua kanan), Nurul Ghufron (kiri) dan Juru Bicara KPK Ali Fikri (kanan) saat menyampaikan keterangan pers terkait kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2021 di Gedung Murah Putih, KPK, Jakarta, Rabu (29/12). Sepanjang tahun 2021 KPK telah melakukan upaya penindakan tindak pidana korupsi diantaranya penyelidikan 127 perkara, penyidikan 105 perkara, penuntutan 108 perkara, inkracht 90 perkara, eksekusi putusan 94 perkara dan jumlah tersangka 123 orang. Dari penanganan perkara tersebut, KPK berhasil melakukan asset recovery sebesar Rp 374,4 miliar. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KPK menetapkan sebesar Rp 2,29 miliar menjadi pendapatan negara yang berasal dari laporan gratifikasi. Total KPK menerima lebih dari 2.000 laporan gratifikasi.

"Sebesar Rp 2,29 miliar telah ditetapkan sebagai milik negara dan Rp 5,6 miliar ditetapkan sebagai bukan milik negara," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam Konferensi Pers Kinerja KPK 2021 di gedung KPK Jakarta, Rabu (29/12). Menurut Alexander, sepanjang 2021, KPK telah menerima sebanyak 2.029 laporan gratifikasi dengan nominal Rp 7,9 miliar.

Baca Juga

Sedangkan pada pengelolaan unit pengendali gratifikasi (UPG), KPK mencatat sebanyak 34 kementerian telah menyampaikan sejumlah 32 laporan, 69 lembaga negara telah menyampaikan sejumlah 61 laporan. Selanjutnya 34 provinsi telah menyampaikan sejumlah 32 laporan, 514 kabupaten/kota telah menyampaikan sejumlah 287 laporan, 123 BUMN telah menyampaikan 70 laporan.

"Sehingga secara total 482 dari total 774 instansi atau 62,27 persen telah menyampaikan laporan gratifikasinya melalui unit pengendali gratifikasi," tambah Alex.

KPK juga mencatat tingkat pelaporan LHKPN 2021 sebesar 97,31 persen dan tingkat kepatuhan mencapai 93,10 persen dari total wajib lapor. Rinciannya, kepatuhan eksekutif 92,71 persen, yudikatif 96,83 persen, legislatif 90,38 persen dan BUMN/BUMD 96,26 persen.

Sepanjang 2021, KPK melakukan pemeriksaan terhadap total 260 Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang terdiri atas 156 laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas permintaan internal di antaranya terkait proses seleksi hakim agung dan pengembangan perkara. Sebanyak 104 LHP dari para penyelenggara negara yang meliputi kepala daerah, direksi BUMD, dan penyelenggara negara di kementerian.

KPK juga mengembangkan fitur perbandingan harta penyelenggara negara selama 3 tahun terakhir dalam menu e-announcement yang dapat diakses melalui laman eLHKPNn.KPK.go.id. "Dengan fitur tersebut masyarakat dapat langsung membandingkan penambahan atau pengurangan harta penyelenggara negara selama menjabat sehingga diharapkan, apabila terdapat harta yang belum dilaporkan oleh penyelenggara negara, masyarakat dapat menginformasikan kepada KPK," jelas Alex.

Namun Alex mengingatkan bila masyarakat membandingkan LHKPN antar-tahun penyelenggara negara jangan hanya dilihat semata-mata dari nilainya. "Karena nilai sering mencerminkan dari harga biasanya yang sering naik adalah harga tanah sehingga seolah-olah penyelenggara negara dilihat kekayaannya 1 tahun ada peningkatan tiba-tiba saat pandemi padahal penghasilan tidak ada perubahan, karena yang berubah adalah nilai harta sebagai asumsi pelapor bukan dari jenis dan aset. Jadi jangan hanya dilihat nilai tapi juga perubahan dari jumlah dan jenis," jelas Alexander.

Pelaporan gratifikasi bagi penyelenggara negara diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman pidana penerimaan gratifikasi yaitu 4 sampai 20 tahun penjara dan denda dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar. Ancaman pidana tersebut tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan ke lembaga antikorupsi paling lambat 30 hari kerja sebagaimana ketentuan Pasal 12C.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement