Selasa 28 Dec 2021 14:56 WIB

Situasi Memanas, AS-Rusia akan Gelar Dialog Keamanan

NATO telah menjamin dukungannya untuk Kiev jika Rusia melancarkan agresi.

Rep: Kamran Dikarma/Lintar/ Red: Teguh Firmansyah
Tentara Ukraina berada di chekpoint Ukraina Timur.
Foto: AP
Tentara Ukraina berada di chekpoint Ukraina Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pejabat Amerika Serikat (AS) dan Rusia berencana menggelar pembicaraan keamanan pada 10 Januari tahun depan. Saat ini hubungan kedua negara tengah dibekap ketegangan terkait situasi di Ukraina.

“Ketika kami duduk untuk berbicara, Rusia dapat menyampaikan keprihatinannya, dan kami akan menempatkan keprihatinan kami di atas meja dengan kegiatan Rusia juga,” kata seorang juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih pada Senin (27/12).

Baca Juga

Dia menekankan, tidak akan ada keputusan terkait Ukraina bakal diambil dalam pertemuan tanpa melibatkan Kiev secara langsung. “Akan ada area di mana kita dapat membuat kemajuan dan area di mana kita tidak akan setuju. Itulah yang dimaksud dengan diplomasi,” ucapnya.

Ia mengungkapkan, Moskow pun bakal menggelar pembicaraan keamanan dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pada 12 Januari tahun depan. NATO memang turut terlibat ketegangan dengan Rusia atas situasi di Ukraina. NATO telah menjamin dukungannya untuk Kiev jika Rusia melancarkan agresi.

Kemudian pada 13 Januari, Rusia, AS, dan beberapa negara Eropa bakal berpartisipasi dalam pembicaraan keamanan regional yang diselenggarakan Organization for Security and Co-operation in Europe.

Pekan lalu,Sekretaris Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina Oleksiy Danilov menuding Presiden Rusia Vladimir Putin hendak menghancurkan negaranya. Kiev, kata Danilov, bertekad melawan setiap upaya agresi Moskow. “Putin ingin menghancurkan negara kami. Akankah dia berhasil? Tidak, dia tidak akan berhasil,” kata Danilov pada Jumat (24/12), dikutip laman TRT World.

Dia mengungkapkan, jika Rusia melancarkan agresi, baik warga sipil maupun tentara Ukraina akan membentuk gerakan perlawanan nasional. “Warga kami akan melindungi negara kami,” ujarnya.

Kendati demikian, Danilov melihat sejauh ini belum ada risiko eskalasi militer berskala besar. Menurut perkiraan Ukraina, jumlah tentara Rusia di sepanjang perbatasannya telah meningkat dari 93 ribu personel pada Oktober menjadi 104 ribu personel saat ini. “Kami tidak berpikir ini adalah lonjakan besar,” kata Danilov.

Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kerusuhan pun terjadi karena terdapat pula kelompok separatis pro-Rusia di sana.

Belakangan kelompok pro-Rusia itu terlibat konfrontasi bersenjata dengan tentara Ukraina, terutama di Donbass. Pada 2015, Rusia dan Ukraina, bersama Prancis serta Jerman, menyepakati Minsk Agreements. Salah satu poin dalam perjanjian itu adalah dilaksanakannya gencatan senjata total di wilayah timur Ukraina. Namun Moskow dianggap tak mematuhi dan memenuhi sepenuhnya perjanjian tersebut. Hal itu menyebabkan Rusia dijatuhi sanksi ekonomi oleh Uni Eropa.

Konfrontasi militer

Secara terpisah, Wakil Menteri Pertahanan Rusia, Alexander Fomin, mengatakan, provokasi NATO di dekat perbatasan Rusia kemungkinan besar akan meningkat menjadi konflik bersenjata. Ekspansi NATO ke arah timur dimulai pada saat Rusia memiliki hubungan baik dengan aliansi tersebut.

"Baru-baru ini, aliansi telah beralih ke praktik provokasi langsung, yang memiliki risiko tinggi menjadi konfrontasi bersenjata," kata Fomin, dilansir Anadolu Agency, Selasa (28/12).

Fomin mengatakan, pada 1999, Republik Ceska, Hongaria dan Polandia yang merupakan bekas sekutu Soviet bergabung dengan NATO. Langkah ini diikuti oleh Bulgaria, Latvia, Lithuania, Estonia, Rumania, Slovakia dan Slovenia yang bergabung dengan NATO pada 2004. Hal ini meningkatkan keuntungan bagi militer NATO.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement