Senin 27 Dec 2021 19:32 WIB

Kenaikan Harga Elpiji yang Kian Menggerus Daya Beli Masyarakat

Kenaikan harga Elpiji bisa mengakibatkan subsidi Elpiji gas melon jebol.

Seorang pekerja menata tabung gas Elpiji bersubsidi seberat tiga kilogram. Pemerintah secara resmi sudah menaikkan harga gas Elpiji 12 kg dan 5,5 kg.
Foto: ANTARA/Oky Lukmansyah
Seorang pekerja menata tabung gas Elpiji bersubsidi seberat tiga kilogram. Pemerintah secara resmi sudah menaikkan harga gas Elpiji 12 kg dan 5,5 kg.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Intan Pratiwi, Shabrina Zakaria, Eva Rianti

 

Baca Juga

PT Pertamina (Persero) secara resmi sudah menaikkan harga Elpiji non-subsidi yaitu untuk produk 12 kg dan Bright Gas ukuran 5,5 kg. Imbas kenaikan harga Elpiji membuat masyarakat ramai diprediksi beralih ke gas Elpiji 3 kg atau gas melon.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Muhammad Faisal mengatakan pergeseran tersebut dikarenakan kenaikan harga Elpiji menggerus daya beli masyarakat. "Selain potensi menggerus daya beli masyarakat, tentunya masalah suplai dari gas melon sebagai imbas dari shifting akibat kenaikan harga Elpiji 12 kg dan 5,5 kg memang sesuatu yang perlu diantisipasi," ujar Faisal, Senin (27/12).

Faisal menilai, hal ini berpotensi terjadi karena masyarakat dalam kondisi masih terpukul pandemi sehingga cenderung mencari harga yang lebih murah. Belum lagi, momen kenaikan Elpiji berbarengan dengan harga telur, minyak goreng dan cabai yang meroket.

Kondisi ini kata Faisal juga berpotensi membuat subsidi Elpiji gas melon bisa jebol. Ia menilai, perlu ada langkah antisipasi dari Pertamina maupun Kementerian ESDM dalam merespons kebijakan yang dikeluarkan.

"Di samping itu tentu saja perlu kontrol agar shifting dapat diminimalisir karena mengakibatkan ketidaktepatan sasaran penggunaan gas Elpiji bersubsidi," ujar Faisal.

Faisal menilai kenaikan harga Elpiji memberatkan masyarakat. Terutama, masyarakat kelas bawah dan kelompok UMKM rumahan yang memakai Elpiji 12 kg untuk modal usahanya.

Kenaikan Elpiji pun akan mendorong inflasi. Ia mengatakan inflasi bahkan terdorong tidak hanya ke komponen transportasi tetapi juga ke komponen sembako. "Akan mendorong inflasi bukan hanya secara langsung ke komponen transportasi, tetapi juga efek domino ke komponen lainnya terutama sembako," ujar Faisal.

Corporate Secretary Sub Holding Commercial & Trading Pertamina, Irto Ginting menjelaskan Pertamina akan melakukan monitoring dari stok dan penyaluran Elpiji bersubsidi. Pertamina juga terus mengedukasi masyarakat untuk tidak mengonsumsi Elpiji bersubsidi bagi masyarakat yang mampu.

"Kami mengimbau agar pengguna Elpiji non-subsidi tidak beralih ke Elpiji subsidi. Kami akan terus melakukan monitoring stok dan penyaluran LPG kepada masyarakat," ujar Irto.

Pertamina resmi mengubah harga jual Elpiji non=subsidi. Kenaikan harga Elpiji 12 kg dan 5 kg ini berkisar antara Rp 1.600-Rp 2.600 per kg.

Irto memastikan kenaikan harga hanya terjadi di Elpiji yang tidak disubsidi. Untuk Elpiji subsidi 3 kilo tak ada penyesuaian harga. "LPG subsidi 3 kg yang secara konsumsi nasional mencapai 92,5 persen tidak mengalami penyesuaian harga, tetap mengacu kepada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah," tambah Irto.

Penyesuaian harga Elpiji terakhir dilakukan Pertamina pada 2017. Saat ini Pertamina menaikan 7,5 persen harga Elpiji non-subsidi tersebut.

"Pertamina menyesuaikan harga LPG non-subsidi untuk merespons tren peningkatan harga Contract Price Aramco (CPA) LPG yang terus meningkat sepanjang tahun 2021," ujar Irto.

Saat ini CP Aramco November kemarin saja meningkat sampai 847 dolar per metrik ton. Harga tersebut naik 74 persen lebih tinggi dibandingkan harga empat tahun lalu. Untuk itu, Pertamina menetapkan acuan harga.

"Besaran penyesuaian harga LPG non subsidi yang porsi konsumsi nasionalnya sebesar 7,5 persen berkisar antara Rp 1.600-Rp 2.600 per kg. Perbedaan ini untuk mendukung penyeragaman harga LPG ke depan serta menciptakan keadilan harga antardaerah," ujar Irto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement