REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengakui adanya potensi kebocoran data sertifikat tanah yang kini menjadi digital. Namun BSSN mengekliam terus berupaya memastikan keamanan data sertifikat tanah.
Koordinator Manajemen Risiko dan Penilaian Tingkat Kematangan Keamanan Siber dan Sandi Pemerintah Pusat, Pertahanan, dan Penegakan Hukum BSSN, Eko Yon Handri, menyampaikan pemerintah terus menyosialisasikan pendaftaran tanah melalui sistem daring. Hal ini untuk menyukseskan migrasi sertifikat tanah dari analog ke digital.
Namun ia mengamati masih timbul keraguan dari masyarakat mengenai keamanan data sertifikat tanah digital. "Adanya migrasi sertifikat tanah dari analog ke elektronik menimbulkan potensi kebocoran data atau serangan siber. Oleh karena itu, kami melakukan antisipasi dengan membuat pengamanan-pengamanan," kata Eko dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Sabtu (25/12).
Eko mengimbau masyarakat tak takut terhadap proses digitalisasi sertifikat tanah. Ia menjamin pemerintah menjalankan lima aspek keamanan data dan informasi. Yaitu kerahasiaan, keaslian, keutuhan, kenirsangkalan, dan ketersediaan.
"Keamanan siber Indonesia terbilang baik jika membandingkan jumlah serangan siber yang diterima dengan serangan yang berhasil ditangkis," ujar Eko.
Selain itu, Eko mengatakan bahwa data-data pada sertifikat elektronik sudah melalui proses enkripsi. Hal ini dilakukan guna mengurangi peluang terjadinya kebocoran maupun pemalsuan data.
"Jika data sudah dienkripsi, kemungkinan data tersebut untuk terbuka akan semakin kecil. Sehingga diharapkan masyarakat untuk tidak khawatir, namun tetap waspada terhadap segala potensi kejahatan digital," tegasnya.
Diketahui, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengungkapkan total bidang tanah yang telah tersertifikasi di Indonesia mencapai 74,5 juta. Data tersebut berdasarkan perhitungan hingga akhir tahun ini.