Selasa 21 Dec 2021 09:52 WIB

PT 0%: Presidential Threshold atau Pilpres Terpilih yang 0%?

Bisahan soal PT egakan konstitusi secara muni dan konsekuen

Jendral AH Nasution di tengah, di kiri Nurcholish Madjid, di kanan Ridwan Saidi, 1967
Foto: Ridwan Saidi
Jendral AH Nasution di tengah, di kiri Nurcholish Madjid, di kanan Ridwan Saidi, 1967

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ridwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.

Sebuah situ berita pekan silam dikabarkan pidato Ketua DPD LaNyalla Mahmud Mattalitti di depan Pemuda Pancasila Kabupaten Tulungagung pada tanggal 19 Desember 2021. Antara lain LaNyalla berkata bahwa konstitusi (sekarang, Ridwan Saidi) jauh dari semangat Pancasila dan teks pembukaan.

LaNyalla juga mengkritik diubahnya status MPR yang seharusnya menjadi Lembaga Tertinggi Negara yang mencerminkan kedaulatan rakyat sekarang cuma lembaga tinggi saja. Selanjutnya LaNyalla berkata bahwa utusan daerah dan golongan harusnya berada di MPR sebagai lembaga tertinggi, bukan dijadikan DPD. 

Lama saya tecenung memahami pidato LaNyalla. Bukankah dia pendukung Presidential Threshold (PT) 0% yang 100% merupakan produk konstitusi yang dia kecam. Bahkan PT 0% itu dibicarakan dalam pertemuan dengan Panglima TNI Jenderal Andika. Malah berkunjung pula Ketua KPK Firli mendukung PT 0%.

 

Dalam konteks yang terhurai di atas, memang tidak tepat kalau akronim PT untuk Presidential Threshold, lebih pas untuk Pilpres Terpilih 0%. Jikalau UUD 45 ditegakkan secara murni dan konsekuen, maka Presiden dipilih MPR tanpa threshold.

Tegakkan UUD 45 secara murni dan konsekuan adalah istilah Jenderal AH Nasution (photo atas Pak Nas di tengah, di kiri Nurcholish Madjid, di kanan Ridwan Saidi, 1967). Konsep Dekrit 5 Juli diantar sendiri oleh Pak Nas ke Jepang. Bung Karno kala itu cukup lama rehat di Jepang.

Dengan Dekrit dan penempatannya di Lembaran Negara de jure UUD 45 berlaku. De facto konstitusi perubahan yang berlaku.

Dalam pemahaman saya pidato Ketua DPD LaNyalla itu ajakan untuk menegakkan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Saya mah akur saja!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement