Selasa 21 Dec 2021 05:39 WIB

Hoaks Covid-19 Paling "Lucu" Sepanjang 2021

Banyak hoaks berseliweran terkait dengan Covid-19 sepanjang 2021.

Hoaks Vaksin dan Covid-19
Foto: Republika
Hoaks Vaksin dan Covid-19

Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Tahun 2021 merupakan tonggak penting dalam pengendalian pandemi Covid-19. Sepanjang tahun ini, banyak perkembangan signifikan yang terjadi.

Ketersediaan vaksin, opsi perawatan, hingga kemunculan varian-varian baru SARS-CoV-2 termasuk di antaranya. Sejalan dengan itu, hoaks demi hoaks bermunculan.

Sedihnya, banyak orang yang termakan dengan hoaks. Mereka menelan begitu saja kabar bohong, yang absurd bin lucu sekalipun.

Mereka yang gampang percaya hoaks ada di antara kita. Saya yakin, di lingkaran mana pun kita bergaul, ada saja orang yang demikian.

Salah satu hoaks paling lucu ialah tes tempel koin Rp 1.000 di lengan setelah vaksinasi. Masih ingat video viralnya, kan?

Isu itu berkembang di kalangan yang mengaitkan pandemi dengan teori konspirasi. Mereka bilang, vaksin mengandung mikrocip magnetis yang berfungsi sebagai pelacak. Simak penjelasannya di sini ya untuk menyegarkan memori.

Saat cakupan vaksinasi terus bertambah, datang lagi kabar kabur. Informasinya menakut-nakuti. Betapa tidak, katanya orang yang sudah divaksin akan meninggal dalam dua tahun. Itu vaksin atau hubungan toksik ya, kok membunuh secara perlahan?

November lalu, di Facebook berseliweran info menyesatkan yang menyebut bahwa orang yang disuntik vaksin cenderung mengalami perubahan mental dan fisik. Aduh, kalau itu benar, penuh dong klinik psikolog-psikiater...

Masih di bulan November, ada foto editan yang menyebut Umbrella Corporation melakukan uji coba berkedok vaksin Covid-19 untuk membuat manusia menjadi zombie. Yang bikin hoaks ini sepertinya fans berat serial Walking Dead dan film Train to Busan nih!

Ada lagi yang merekomendasikan cara detoks vaksin Covid-19. Orang dianjurkan mandi menggunakan soda kue, garam epsom, tanah liat, dan boraks untuk menghilangkan racun pada orang yang sudah divaksinasi. Auto ngakak, nggak?

Pada awal tahun, Kementerian Komunikasi dan Informatika  mengatakan, penyebaran hoaks hanya butuh tiga menit untuk menjangkau masyarakat luas. Sebaliknya, kecepatan untuk melawan dan menangkal hoaks membutuhkan waktu 60 menit, lebih lambat 20 kali lipat daripada pembuat hoaks.

Jelang tutup tahun, Kementerian yang sama mengungkap, ada 2010 isu hoaks Covid-19 pada 5194 unggahan media sosial sejak Januari 2020 hingga 2 Desember 2021. Persebaran terbanyak pada platform Facebook sejumlah 4493 unggahan.

Saya salut dengan para dokter, ilmuwan, dan pakar lainnya yang meluangkan waktu untuk berbagi informasi penangkal hoaks. Angkat topi juga untuk masyarakat yang melakukan riset mandiri untuk menyuguhkan faktanya bagi mereka yang literasi digitalnya rendah.

Sungguh, bukan pekerjaan mudah untuk meluruskan pemahaman orang yang percaya hoaks. Salah-salah cara, orang justru akan mental atau memancing terjadinya konfrontasi.

Pandemi Covid-19 memang telah membuat silaturahim merenggang. Bukan semata karena orang-orang lama tak berjumpa, tetapi karena perbedaan pemahaman, keyakinan soal wabah global ini.

Sampai-sampai istilah yang mewakili topik sensitif pun berubah dari SARA ke SARAP. Itu singkatan dari suku, agama, ras, antargolongan, dan pandemi.

Ibarat "prank", hoaks tadi jadi hilang "kelucuannya" ketika itu memakan korban. Dosa jariyah nggak tuh kalau asal bikin konten atau asal share info sampai orang jadi tak mau divaksinasi meski itu bisa melindungi, tak mau dirawat di rumah sakit karena takut dicovidkan, atau jadi ogah minum obat karena khawatir dengan interaksi obat? 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement