Jumat 17 Dec 2021 22:10 WIB

Muktamar ke-34 NU Kaji Pengambilan Negara Atas Tanah Rakyat 

Pembahasan isu tanah rakyat di Muktamar NU berangkat dari ketimpangan

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Pembahasan isu tanah rakyat di Muktamar NU berangkat dari ketimpangan. Ilustrasi warga menggarap lahan
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Pembahasan isu tanah rakyat di Muktamar NU berangkat dari ketimpangan. Ilustrasi warga menggarap lahan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar Ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) akan mengangkat tiga pembahasan dari berbagai sektor, mulai dari soal agraria, kajian ilmu falak dalam penentuan waktu ibadah, dan interseks serta operasi medis untuk penyesuaian alat kelamin. 

Pembahasan ini berangkat dari ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi selama puluhan tahun di Indonesia. Sejak UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dijalankan, ketimpangan penguasaan agraria dan sumber daya alam semakin mendalam antara sektor pertanian rakyat dan pertanian/perkebunan besar atau antara sektor pertanian dan nonpertanian.

Baca Juga

Ketimpangan penguasaan agraria sesungguhnya terjadi bukan karena ketimpangan penguasaan lahan di sektor pertanian rakyat. Ketimpangan penguasaan agraria di Indonesia terjadi antarsektor pelaku ekonomi yang memperebutkan lahan yang di bawah kekuasaan negara, baik itu di lahan nonkawasan hutan maupun lahan kawasan kehutanan.

Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Tahun 2021, KH Sarmidi Husna, mengatakan berdasarkan data yang ada sangat jelas terlihat bahwa sebenarnya penguasa lahan di Indonesia adalah negara itu sendiri.

Menurut dia, negara memiliki hak penguasaan lahan baik yang berada di kawasan hutan maupun nonkawasan hutan. Dari total yang di bawah penguasaan negara, lahan yang diberikan kepada korporasi baik swasta maupun BUMN berjumlah sekitar 45,22 juta hektare. 

Akibat ketimpangan penguasaan agrarian, konflik pertanahan selalu menjadi isu dominan hampir setiap tahun. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2020 terdapat 241 konflik dengan melibatkan 135.332 KK dan mencakup 624.273 hektare. Hal ini belum termasuk konflik yang tidak muncul ke permukaan. 

Jika dilihat dari sektornya, konflik dengan perkebunan adalah yang tertinggi 122 kasus, kehutanan 41 kasus, infrastruktur 30 kasus, properti 20 kasus, pertambangan 12 kasus, dan agribisnis dua kasus. Artinya, hampir tidak ditemukan konflik yang bersifat horizontal. 

Konflik-konflik tersebut seperti di perkebunan dan kehutanan, kata Sarmidi, disebabkan oleh ketidakadilan negara dalam mengalokasikan peruntukkan lahan bagi petani atau rakyat. Padahal lahan tersebut berada dalam penguasaan negara. 

Kiai Sarmidi menjelaskan, jika merujuk pada data-data penguasaan dan alokasi sumber-sumber agraria yang di bawah penguasaan negara, maka ketimpangan penguasaan agraria selama ini jelas-jelas disebabkan negara tidak menjalankan konstitusi secara benar dalam pengurusan dan pengaturan bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. 

“UU Pokok Agraria bagus. Nah undang-undang turunannya itu yang tidak benar, bertentangan dengan UU-nya. Dengan kata lain negara telah melakukan tindakan inkonstitusional dalam pengurusan sumber-sumber agraria,” kata Sarmidi dalam siaran persnya, Jumat (17//12).    

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement