Tim Perumus DPR Bahas RUU IKN Awal Januari 2022

Tim perumus akan mengunjungi Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.

Kamis , 16 Dec 2021, 14:03 WIB
Panitia kerja (Panja) rancangan undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) sepakat bahwa pembahasan RUU tersebut akan dibawa ke tingkat tim perumus (timus). (Foto: Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa)
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Panitia kerja (Panja) rancangan undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) sepakat bahwa pembahasan RUU tersebut akan dibawa ke tingkat tim perumus (timus). (Foto: Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Panitia kerja (Panja) rancangan undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) sepakat bahwa pembahasan RUU tersebut akan dibawa ke tingkat tim perumus (timus). Rencananya, rapat tim tersebut akan dilakukan pada awal Januari 2022.

"Awal minggu kedua (2022) kita udah mulai rapat lagi," ujar Wakil Ketua panitia khusus (Pansus) dan pimpinan tim perumus RUU IKN Saan Mustopa di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/12).

Baca Juga

Saan yang ditunjuk sebagai pimpinan tim perumus RUU IKN juga mengatakan, tim perumus akan mengunjungi Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Tujuannya untuk mengecek lokasi ibu kota negara baru tersebut.

"Tanggal 9-10 (Januari 2022) rencananya ke lapangan. Biar lebih jelas aja posisinya di mana," ujar Saan.

Saan mengatakan, poin-poin yang bersifat substansial atau inti dalam RUU IKN sudah selesai dibahas. Salah satunya yang selalu menjadi perdebatan adalah pemerintahan khusus IKN yang kini telah disepakati untuk diubah menjadi pemerintah daerah khusus ibu kota negara.

Dalam Pasal 155 ayat (1)b Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib menjelaskan bahwa penyempurnaan yang bersifat redaksional langsung diserahkan kepada tim perumus. Selanjutnya dalam poin c, jika substansi telah disetujui tetapi rumusan perlu disempurnakan, diserahkan kepada tim perumus.

Ia menjelaskan, jika ada substansi yang belum disetujui, tetapi sudah masuk pembahasan di tim perumus, maka pembahasannya dikembalikan ke tingkat Panja. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 155 ayat (1)d Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib.

"Dengan catatan, kalau nanti di timus belum selesai hal-hal yang dianggap sebagai substansi, nanti kita akan bawa ke panja kembali, jadi gitu," ujar politikus Partai Nasdem itu.

Baca Juga:

Salah satu poin yang menjadi perdebatan dalam rapat pembahasan RUU IKN adalah poin pemerintahan khusus IKN yang kini telah disepakati untuk diubah menjadi pemerintah daerah khusus ibu kota negara. Pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR sudah sepakat dengan perubahan nama tersebut karena dinilai sudah tak lagi bertentangan dengan Pasal 18b ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam proses membawa RUU IKN tingkat tim perumus (timus), hanya Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak RUU IKN masuk ke tahap tersebut. Anggota Pansus Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam bahwa pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU IKN di tingkat Panja bukan semata-mata perubahan nama. Masih ada substansi lain yang masih perlu didalami oleh seluruh fraksi.

"Kami memandang, karena ini substansi, ini harusnya masih tetap di panja, tetapi nanti jika ada keputusan yang lain dari masing-masing fraksi. Kita Fraksi PKS, sikapnya kita tetap ingin di Panja karena ini banyak berkaitan dengan DIM substansi," ujar Ecky.

Anggota panitia khusus (Pansus) rancangan undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) Fraksi Partai Demokrat Muslim mengatakan, fraksinya memang telah menyepakati perubahan diksi menjadi pemerintah daerah khusus IKN. Meski hanya perubahan diksi, pendalaman terhadap RUU harus dilakukan kembali.

"Setelah perubahan terletak pada perubahan frasa pemerintah khusus IKN menjadi pemerintah daerah khusus IKN, namun tidak merubah substansi pendalaman. Artinya apa, kita dari Fraksi Partai Demokrat sementara ini masih kita pelajari dulu, karena kita juga bahan belum terima," ujar Muslim.

Baca Juga: Ibu Kota Negara yang Baru tak Gelar Pilkada dan Pileg DPRD 

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, perubahan diksi ini setelah adanya sorotan ihwal pemerintahan khusus IKN yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18b ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ia menambahkan, perubahan terkait pemerintah khusus tidak hanya dari diksi pemerintahan khusus IKN menjadi pemerintah daerah khusus IKN. 

Perubahan lainnya terrkait konsep kelembagaan pemerintah IKN yang sebatas fungsi pada persiapan, pembangunan, dan pemindahan ibu kota negara. Ia menambahkan, pemerintah daerah khusus IKN ini akan berbentuk otorita. 

Namun, ia tetap berharap adanya pengecualian, yakni otorita ini juga mengurus IKN nantinya. "Dengan seiringnya, penyelenggaraan pemerintah negara. Jadi artinya bahwa ibu kota negara itu, ya diurusi oleh sebuah pemerintahan daerah khusus IKN yang dinamakan otorita," ujar Suharso dalam dalam rapat dengan panitia khusus (Pansus) RUU IKN, Rabu (15/12).

Baca Juga: AMAN: Pembangunan IKN Harus Hormati Hak Masyarakat Adat

Pakar tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, konsep pemerintahan khusus IKN memang tak sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebab, Pasal 18b UUD 1945 menyebutkan, Indonesia mengakui pemerintahan daerah yang terdiri dari Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Feri menganggap konsep pemerintahan khusus perlu diperbaiki menjadi pemerintah daerah khusus. "Kalau Pemda khusus itu masih masuk akal. Kalau pemerintahan khusus itu tidak dibenarkan. Konteksnya jadi sangat beda," ujar Feri.

Feri juga mengingatkan nantinya pemerintahan khusus IKN wajib dipimpin kepala daerah seperti halnya pemda. "Jelas harus dinamakan Pemda dipimpin Gubernur, Bupati dan Wali Kota walaupun Pemda khusus formatnya sama. Jadi mungkin peristilahan harus hati-hati biar tidak tabrak kehendak UUD 45," lanjut Feri.

Selain itu, Feri menilai tak tepat bila Pemerintah Indonesia harus berkaca dengan negara lain dalam hal penentuan konsep Ibu Kota. Ia meminta Pemerintah Indonesia tetap berpatokan pada UUD 1945 karena perbedaan dasar negara dengan negara lain.