Rabu 15 Dec 2021 13:13 WIB

Adanya Kompetisi AS dan China Dapat Batasi Agenda Indonesia di G20

Kompetisi antara AS dan China lebih mengarah ke kompetisi global.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolandha
Bendera Amerika Serikat dan China. Pakar Hubungan Internasional dari The Sejong Institute Korea, Dr Woo Jung-yeop menjelaskan, kondisi global saat ini dengan kompetisi yang semakin berkembang antara AS dan China kemungkinan akan membuat Indonesia sulit untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam hubungan bilateralnya.
Foto: AP / Andy Wong
Bendera Amerika Serikat dan China. Pakar Hubungan Internasional dari The Sejong Institute Korea, Dr Woo Jung-yeop menjelaskan, kondisi global saat ini dengan kompetisi yang semakin berkembang antara AS dan China kemungkinan akan membuat Indonesia sulit untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam hubungan bilateralnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan G20 pada 2022 mendatang menjadi ajang penting bagi Indonesia dalam diplomasi internasionalnya. Saat itu, Indonesia akan menjadi tuan rumah atau Presidensi dari pertemuan penting ini.

Dalam agenda penting ini, Indonesia berharap untuk memperluas kerja sama internasional di bidang ekonomi, investasi, hingga kesehatan. Presiden RI Joko Widodo menekankan tiga agenda utama yaitu kesehatan inklusif, transformasi digital dan transisi energi. Indonesia juga berharap dapat menjadi bagian dari rantai pasok global untuk bidang kesehatan.

Baca Juga

Pakar Hubungan Internasional dari The Sejong Institute Korea, Dr Woo Jung-yeop menjelaskan, kondisi global saat ini dengan kompetisi yang semakin berkembang antara AS dan China kemungkinan akan membuat Indonesia sulit untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam hubungan bilateralnya.

"Dengan meningkatnya kompetisi antara dua ekonomi besar dunia, ini akan lebih mengarah ke kompetisi global dibandingkan diplomasi multilateral. Ini bukan tentang Indonesia, tapi faktor eksternal yang akan membatasi geraknya," ujar Dr Woo Jung-yeop dalam workshop ke 6 Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, Senin (13/12). Workshop ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia dan Korea Foundation.

Menurut Dr Woo, situasi saat ini sangat berbeda ketika Korea Selatan yang menjadi presidensi G20 pada 2010 lalu. Saat itu, Presiden AS Barrack Obama lebih terbuka dengan diplomasi multilateral karena belum ada persaingan sengit dengan China.

Hal ini berbeda ketika pada saat ini China hampir mengejar AS dalam menjadi ekonomi terbesar di dunia. Dengan meningkatnya pengaruh ekonomi China, AS sekarang menekan negara-negara aliansinya untuk bertentangan dengan China.

Ia mencontohkan posisi Korea Selatan yang sulit saat ini, karena sebagai aliansi terbesar AS, Korsel bertetangga dekat dengan China. Ini tentunya juga terjadi pada Indonesia, yang memiliki hubungan baik dengan kedua negara ekonomi terbesar dunia tersebut.

"Sekarang AS berusaha menggunakan hubungan multilateral untuk melawan China. Dengan adanya kompetisi semacam ini, tarik-menarik dari dua negara, peran Indonesia mungkin akan terbatas," kata Dr Woo.

Akan tetapi, ia meyakini bahwa independensi politik negara-negara Asia dapat diraih dengan berbagai upaya diplomasi. Upaya negara-negara Asia nanti dalam diplomasi multilateral diharapkan dapat memberikan jaminan keamanan regional dari AS, sekaligus meningkatkan hubungan ekonomi dengan China.

Sebelumnya Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengumumkan prioritas presidensi G20 Indonesia dalam pertemuan ASEAN-G7. "Saya menjelaskan prioritas keketuaan Indonesia di G20 yaitu, penguatan arsitektur kesehatan global, transisi energi, dan transformasi digital," ujar Retno mengikuti pertemuan ASEAN-G7 secara virtual dari Jakarta, Ahad (12/12).

Presidensi G20 Indonesia akan memperkuat satuan kerja bersama kesehatan dan keuangan yang telah dibentuk dalam Presidensi G20 sebelumnya oleh Italia. Peran satuan tugas tersebut sangat penting untuk memitigasi potensi krisis di masa depan karena isu kesehatan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement