Jumat 10 Dec 2021 23:08 WIB

Pembahasan Kebanksentralan dalam FCBD

Tanpa kebijakan struktural maka akan menyulitkan pemulihan ekonomi.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolandha
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional selaku Deputi Keuangan G20, Wempi Saputra dan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo dalam konferensi pers penutupan Finance and Central Bank Deputies Meeting di Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (9/12).
Foto: Bank Indonesia
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional selaku Deputi Keuangan G20, Wempi Saputra dan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo dalam konferensi pers penutupan Finance and Central Bank Deputies Meeting di Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (9/12).

REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Finance and Central Bank Deputies Meetings (FCBD) yang merupakan kick off Presidensi G20 Indonesia jalur keuangan berakhir pada hari ini, Jumat (10/12). Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo mengatakan pertemuan ini telah mengumpulkan berbagai masukan dan rekomendasi topik prioritas yang akan dicapai pada Presidensi G20 Indonesia.

"Hari ini kita terima masukan seluruh anggota G20 dan lembaga internasional terkait isu-isu prioritas, kita kumpulkan dan akan kita dibawa dalam pertemuan jalur keuangan level menteri dan gubernur bank sentral yang akan dimulai bulan Februari," katanya dalam konferensi pers FCBD, Jumat (9/12) di Nusa Dua, Badung, Bali.

Baca Juga

Secara substansi, ada enam topik prioritas yang akan dibahas. Tiga diantaranya terkait dengan isu kebanksentralan. Dody menjelaskan, pertama terkait dengan perkembangan ekonomi global, strategi keluar dari krisis, dan dampak luka memar akibat pandemi.

Dalam pertemuan dua hari terakhir, setiap negara menyampaikan ulasan outlook ekonomi masing-masing dan secara global. Secara umum, Dody menyampaikan semuanya berada pada jalur pemulihan namun dengan kecepatan yang lambat.

Pemulihan terus berlangsung tapi ada beberapa risiko yang harus dihadapi. Seperti risiko kesehatan, inflasi, sisi pasokan, rendahnya level produksi, termasuk isu perubahan iklim. Isu-isu tersebut menjadi risiko pada outlook perekonomian 2021-2022.

"Ada penekanan bahwa normalisasi kebijakan dalam exit strategy harus dilakukan secara mulus, bertahap, menghindari normalisasi prematur," katanya.

Hal ini karena pemulihan suatu negara dipengaruhi banyak faktor termasuk kondisi global. Lebih cepat normalisasi satu negara akan berdampak pada perlambatan pemulihan negara lain. Ini juga bisa berdampak pada instabilitas sistem keuangan jangka panjang.

Dody menekankan, setiap normalisasi harus terukur dan terkomunikasikan dengan sangat baik karena terkait persepsi pasar. Selain itu, dampak luka memar dari pandemi juga perlu dibahas demi melahirkan kebijakan struktural pendukung.

"Tanpa kebijakan struktural maka akan menyulitkan pemulihan ekonomi," katanya.

Manufaktur sangat perlu bantuan struktural di tengah permintaan yang tinggi seiring pemulihan ekonomi. Tidak hanya dari sisi korporasi, masalah utama juga terkait dengan tenaga kerjanya. Kebutuhan keahlian baru akan semakin meningkat di kondisi kenormalan baru.

"Seperti keahlian dalam bidang informasi teknologi karena digitaliasi akan jadi poin penting untuk mengatasi dampak luka memar," katanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement