Rabu 08 Dec 2021 05:03 WIB

Muktamar Lampung: Mirip Cipasung dan Situbondo?

Nilai penting Muktamar NU menjelang saru abad NU

Pengelola menunjukkan batik Al-Qur
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Pengelola menunjukkan batik Al-Qur

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Muhammad Najib Azca, Warga Nahdliyyin, Dosen Sosiologi UGM

Bagi sebagian orang, Muktamar Lampung mengingatkan orang pada Muktamar Cipasung pada 1994. Mengapa? Salah satu kemiripan keduanya adalah: pencalonan ketua umum untuk periode ketiga. Pada Muktamar Cipasung 1994 Gus Dur mencalonkan diri untuk periode ketiganya. Pada saat itu usia Gus Dur baru 54 tahun. Beliau berdalih, seperti ditulis oleh Greg Barton dalam buku “Gus Dur: An authorized biography” bahwa: “Akan ada badai dan laut akan sangat berombak. Dan lebih dari pada sebelumnya, NU akan memerlukan seorang kapten yang berpengalaman.” Yang dimaksud oleh Gus Dur adalah: itu periode menjelang transisi politik menuju demokrasi di masa akhir kepemimpinan Presiden Soeharto—yang akhirnya terjadi pada 1998. 

Pada Muktamar NU di Lampung besok Kiai Said juga akan menjadi calon Ketua Umum untuk periode ketiga. Usia beliau sudah 68 tahun. Konteks politik makro pencalonan dirinya jauh berbeda dibandingkan dengan masa pencalonan Gus Dur pada 1994 yang ditentang oleh Presiden Soeharto. Saat ini Kiai Said tergolong dekat dengan pemerintah: beliau menjabat menjadi anggota Dewan Pengarah BPIP sejak Februari 2018 selain sebagai Komisaris Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) sejak Maret 2021. Selain itu sejumlah orang dekat Kyai Said kini juga menjadi orang penting di kantor Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin, termasuk H. Robikin Emhas dan KH. Marsudi Syuhud. 

Memang sempat muncul rumor bahwa pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, lebih mendukung Gus Yahya. Salah satu alasannya adalah dukungan yang diberikan oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas, yang kebetulan adik Gus Yahya, kepada sang kakak. Tapi tampaknya itu lebih merupakan dukungan personal seorang adik kepada kakaknya, ketimbang dukungan resmi institusi kepresidenan kepada seorang kandidat Ketua Umum PB NU. Bahkan, sebaliknya, Kiai Said Aqil sempat diterima langsung oleh Presiden Jokowi di Istana Negara dan ketika berjumpa dengan jurnalis di Istana menyampaikan rencananya untuk mencalonkan diri kembali. 

Memang, dari seorang yang tergolong cukup dekat dengan Presiden Jokowi pernah terdengar kabar: selama ini Istana merasa kurang nyaman berhubungan dan bekerjasama dengan sejumlah pimpinan PB NU karena pendekatannya cenderung ‘politik transaksional’ dibandingkan ‘politik kebangsaan’. Tapi tampaknya hal tersebut tidak lantas membuat Istana perlu ‘menjatuhkan kepemimpinan Kiai Said Aqil Siradj’. Bahkan sebaliknya, sebagian elemen dari elite politik tampaknya justru berkepentingan agar Kiai Said kembali memimpin NU sehingga berpeluang menjadi kandidat wakil presiden dari sayap Islam pada pilpres 2024—mengulangi jalur yang ditempuh oleh KH. Ma’ruf Amin pada 2019. 

Dibandingkan dengan Muktamar Cipasung yang berlangsung dalam konteks gejolak politik menjelang transisi menuju demokrasi, Muktamar Lampung tampaknya lebih mirip dengan konteks dan situasi di seputar Muktamar Situbondo 1984 yaitu: tarik menarik antara kubu ‘politik’ versus ‘kemasyarakatan’ serta ikhtiar rekonsolidasi kepemimpinan Syuriah atas Tanfidzyah. 

Hal yang mirip terlihat misalnya dalam tulisan menarik Prof. Mitsuo Nakamura (2007: 85) mengenai krisis kepemimpinan dan pencarian identitas NU berdasarkan atas pengamatan terhadap Muktamar Semarang 1979 dan Muktamar Situbondo 1984. Nakamura melihat ada empat keputusan penting yang diambil oleh NU sebagai gerakan “tradisionalisme radikal” dalam Muktamar Situbondo 1984 yaitu: 

(1) penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU;

(2) pemulihan kepemimpinan ulama dengan menegaskan supremasi Syuriah atas Tanfidziyah dalam status dan hukum; 

(3) penarikan diri dari ‘politik praktis’ dengan cara melarang pengurus NU secara bersamaan memegang kepengurusan di dalam partai politik; 

(4) pemilihan pengurus baru dengan usulan program baru yang lebih menekankan pada bidang-bidang non-politik. 

Keputusan poin (3) dan (4) merefleksikan ikhtiar untuk mengurangi keterlibatan NU dalam politik praktis yang terlalu kental. Sedangkan poin (2) merefleksikan ikhtiar untuk menegakkan dan menegaskan kembali kembali peran ulama atau lembaga Syuriah di tubuh NU—setelah sebelumnya terlalu banyak dikelola oleh para politisi. 

Dua hal tersebut tampak cukup menonjol dalam kepengurusan PB NU periode 2015-2020 sebagai hasil Muktamar NU di Jombang pada 2015. Trend menguatnya peran politisi misalnya terlihat dalam pemilihan H. Helmy Faisal Zaini sebagai Sekjen PB NU. Helmy merupakan politisi yang sempat menjabat sebagai Wakil Sekjen PKB, menjadi anggota DPR RI dan bahkan menjabat sebagai Ketua Fraksi PKB di DPR. Sejak NU memutuskan untuk “Kembali ke Khittah 1926” pada Muktamar Situbondo 1994 dan berdirinya PKB pada 1998, baru pertama kalinya jabatan Sekjen PB NU dijabat oleh politisi teras PKB. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement