Senin 06 Dec 2021 03:44 WIB

Menyejahterakan Difabel

Lapangan pekerjaan untuk difabel masih terbatas.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Mensejahterakan Difabel. Foto: Penyandang difabel (ilustrasi).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Mensejahterakan Difabel. Foto: Penyandang difabel (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sudah hampir lima tahun Lidwina Wurie mendirikan Difabel Zone Yogyakarta. Sebuah tempat berkreativitas, dan mewujudkan kemandirian ekonomi bagi para penyandang disabilitas yang berasal dari berbagai wilayah se-DIY. Di tempat inilah para difabel yang kebanyakan mengalami gangguan pada motoriknya sehingga mobilitasnya terbatas (Cerebral Palsy) mendapat pendampingan agar bisa meraih rezeki dari membatik. 

"Komunitas ini kita dirikan untuk menjadi solusi bahwa masih sangat terbatasnya lapangan pekerjaan untuk para penyandang difabel. Kami ingin menginspirasi banyak pihak untuk mau menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka," kata Lidwina Wurie kepada Republika beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Para difabel diberikan pendampingan hingga bisa membatik. Beberapa difabel bahkan mampu mengembangkan potensinya dalam membuat desain batik dan menjahit. Menurut Lidwina, membatik menjadi kegiatan yang dipilih karena paling mudah untuk dilakukan bagi para difabel Cerebral Palsy. 

Selain tidak memerlukan mobilitas tinggi, risiko kecelakaan kerja pun terbilang rendah. Lebih dari itu, hasil karya anggota difabel zone Yogyakarta juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi di pasaran. Sehingga memungkinkan keuntungan yang diperoleh para difabel dapat mencukupi kebutuhannya serta keluarganya. 

Ada sekitar 35 difabel yang menjadi anggota Difabel Zone Yogyakarta. Rata-rata mereka berusia produktif antara 21-32 tahun. Ada juga difabel yang berusia 45 tahun dan menjadi kepala keluarga. Lidwina dan timnya pun membantu para difabel agar bisa memasarkan hasil karya batiknya di berbagai acara. Setiap batik yang berhasil dijual keuntungannya akan dibagi untuk kas komunitas, modal, dan upah difabel. Menurut Lidwina apa yang dilakukannya adalah aksi nyata berkelanjutan untuk memberdayakan dan meningkatkan ekonomi serta kesejahteraan para difabel. 

"Penyandang disabilitas di Indonesia ada sekitar 12 persen dari total penduduk, jumlah yang tidak sedikit. Ini PR untuk pemerintah bagaimana mensejahterakan mereka, karena dibalik anggapan disable adalah kaum lemah, sesungguhnya mereka memiliki kemampuan yang luar biasa tak kalah dengan kita-kita yang  non disable," katanya. 

Sekretaris Jenderal Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Yogi Madsuni berpendapat masih banyak persoalan yang dihadapi para penyandang disabilitas dalam mewujudkan kesejahteraan hidupnya. Menurutnya meski telah terdapat Undang-Undang nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai payung hukum serta sejumlah aturan turunannya, namun implementasi kebijakan belum banyak dirasakan dampaknya. Ia pun mencontohkan masih banyak para penyandang disabilitas khususnya tunanetra yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Sebabnya pun kompleks mulai dari persoalan ekonomi hingga tidak adanya bantuan akses untuk mengenyam pendidikan.  

"Saya itu turun ke lapangan, contohnya di Kudus itu para disabilitas netra yang remaja, dewasa, masih banyak yang belum mengenyam pendidikan. Apa kesulitan akses? Itu yang jadi pertanyaan. Di zaman sekarang seharusnya kan tidak terjadi, tapi kenyataannya seperti itu," kata Yogi. 

Menurut Yogi dengan para penyandang disabilitans tidak mengenyam pendidikan mereka pun makin kesulitan untuk bisa diterima di lapangan kerja.  Selain itu Yogi juga mencatat masih banyak para penyandang disabilitans yang tidak memperoleh bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Padalah menurutnya kebanyakan penyandang disi berasal dari keluarga rentan bahkan tak sedikit yang harus tertatih-tatih menjadi tulang punggung keluarga. 

Ia melihat pendampingan dan kontrol terhadap program-program pemerintah masih lemah sehingga belum sepenuhnya menyentuh para difabel. Begitupun dengan program kartu Prakerja, yang menurut Yogi masih banyak penyandang disabilitas kesulitan untuk memperolehnya. Pada sisi lain, ia melihat pelatihan-pelatihan kerja yang diselenggarakan pemerintah pun semestinya terdapat yang khusus diikuti oleh difabel.  

"Ayo kita sama-sama duduk bareng, jadi kami tidak berjalan sendiri. Lakukan monitoring, lalu bantu ketika kesulitan misalnya mengakses modal, mengakses izin usaha dan sebagainya," katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement