Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nasywa Azzahra

Pandangan Hukum Islam terhadap Perkembangan Fintech

Bisnis | Friday, 03 Dec 2021, 22:24 WIB
Mikhail Nilov from Pexels" />
Photo by Mikhail Nilov from Pexels

Pernakah kamu mendengar istilah fintech? Mungkin istilah ini masih terdengar asing di masyarakat awam. Tetapi, pernahkah kamu melihat mesin ATM? Mesin ATM merupakan salah satu bentuk perkembangan dari fintech. Lalu apakah fintech itu?

Fintech merupakan singkatan dari financial technology atau dapat dikatakan sebagai teknologi dalam bidang pendanaan. Fintech merupakan terobosan baru penerapan teknologi pada sektor finansial atau keuangan. Fintech didefenisikan sebagai suatu inovasi teknologi dalam pelayanan keuangan yang dapat menghasilkan berbagai model-model bisnis, aplikasi, proses, atau produk-produk dengan efek material terkait dengan penyediaan layanan keuangan (FSB, 2017).

Fintech lahir dan terus berkembang mengikuti zaman. Awal mula perkembangan fintech di dunia adalah di mulai dengan penemuan telegraph pada 1838. Secara umum, perkembangan fintech terbagi menjadi 3 periode:

1. Fintech 1.0 (1866-1987) merupakan tahapan peralihan dari analog menuju digital, dalam prosesnya menghasilnya transatlantic cable dan kabel telefon.

2. Fintech 2.0 (1987-2008) merupakan tahap perkembangan dari pelayanan digital financial secara tradisional. Produk yang dihasilkan berupa kartu kredit, ATM, Electronic Stock Trading, dan Bank Mainframe Computer.

3. Fintech 3.0 dan 3.5 (2009-sekarang) merupakan tahapan dari democratizing digital financial services emerging market atau demokrtisasi pasar keuangan digital. Produk yang dilahirkan juga semakin beragam seperti, semakin menjamurnya perusahaan rintisan (StartUp), aplikasi pembayaran (payment apps), dompet digital (mobile wallets), Blockchain, dan Cryptocurrency.

Terdapat beragam jenis produk fintech di dunia. Di Indonesia sendiri terdapat 4 sektor fintech yang berkembang pesat diantaranya, digital payment, financing and investment, information and feeder site, dan personal finance. Sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak, hukum konvensional dan syariah di Indonesia memiliki pandangan sendiri terhadap suatu permasalahan. Dalam pandangan hukum konvensional belum terdapat peraturan perundang-undangan khusus mengenai fintech, namun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan seperangkat instrumen melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi. Sedangkan pada pandangan Hukum Islam, regulasi fintech di Indonesia dapat ditinjau melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.

Dalam fatwa tersebut terdapat dua ketentuan hukum utama dalam melakukan pelayanan pembiayaan berbasis teknologi, yaitu harus berlandaskan prinsip syariah serta pelayanan tersebut harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah tertuang dalam fatwa. Ketentuan-ketentuan yang di maksud adalah sebagai berikut:

1. Penyelenggaran layanan pembiayaan berbasis teknologi tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, yang berarti dalam pelaksanaannya tidak mengandung riba, gharar, maysir, tadlis, dharar, zhulm, dan haram;

2. Akad baku yang dibuat oleh penyelenggaran harus memenuhi prinsip keseimbangan, keadilan, dan kewajaran sesuai syariah dan peraturan yang berlaku;

3. Akad yang digunakan harus jenis akad yang selaras dengan pembiayaan, misalnya akad al-ba’i, ijarah, mudharabah, musyarakah, wakalah bi al ujrah, dan qard;

4. Penggunaan tanda tangan elektronik yang terdapat pada sertifikat elektronik oleh penyelenggara harus menjamin validitas dan autentikasinya sesuai dengan peraturan yang berlaku;

5. Penyelenggara diperkenankan untuk meminta biaya atas penyediaan sistem dan sarana prasarana layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi;

6. Terdapat hak khiyar bagi pihak pelanggan bila informasi layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berbeda dengan kenyataannya.

Dalam fatwa tersebut, diatur pula jenis layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi yang boleh dilakukan oleh penyelenggara, yaitu:

a. Pembiayaan anjak piutang (factoring), adalah jenis pembiayaan dalam hal pengurusan penagihan piutang berdasarkan bukti tagihan, disertai maupun tidak disertai talangan oleh pelaku usaha yang memiliki tagihan pada pihak ketiga.

b. Pembiayaan Pengadaan Barang Pesanan pihak ketiga (purchase order), merupakan suatu jenis pembiayaan yang diberikan pada pelaku usaha yang telah menerima pesanan barang atau perintah pengadaan barang dari pihak ketiga.

c. Pembiayaan pengadaan barang untuk pelaku usaha yang berjualan secara daring (online seller), merupakan suatu pembiayaan yang diberikan pada pelaku usaha yang melakukan jual beli online pada platform e-commerce atau marketplace.

d. Pembiayaan pengadaan barang untuk pengusaha online shop melalui payment gateaway yang merupakan jasa otorisasi pembayaran secara online.

e. Pembiayaan untuk pegawai, pembiayaan dengan skema kerjasama potong gaji melalui institusi tempat bekerja.

f. Pembiayaan berbasis komunitas yang diberikan pada anggota suatu komunitas yang membutuhkan dengan skema pembayaran dikoordinasikan oleh koordinator komunitas tersebut.

Pada dasarnya, segala bentuk dan jenis muamalah dalam Islam itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syara’. Termasuk pula produk perkembangan fintech, selama dalam penyelenggaraan dan pengaplikasian produk fintech tersebut mendatangkan kemudahan, bermanfaat bagi manusia, serta tidak melanggar prinsip muamalah. Namun sebaliknya, jika dalam penyelenggaraan dan pengaplikasiannya mengandung unsur-unsur yang mengharamkan serta menimbulkan kemudharatan atau kerugian bagi pihak lain, maka penerapannya bisa dilarang atau diharamkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image