Kamis 02 Dec 2021 17:40 WIB

NATO Ingin Hindari Konflik dengan Rusia, Tapi ...

NATO tegaskan dukungan mereka ke Ukraina sesuai dengan kewajiban internasional.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg
Foto: EPA
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) ingin menghindari konflik dengan Rusia di Ukraina. Namun Moskow harus menghentikan tindakan agresifnya di wilayah tersebut.

“Tugasnya adalah untuk mencegah hal tersebut (konflik) terjadi. Itu pertama-tama alasan mengapa kami menyerukan Rusia menghentikan tindakan agresifnya terhadap Ukraina,” kata Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg dalam sebuah wawancara dengan CNN, Rabu (1/12).

Baca Juga

Terkait tindakan agresif Rusia terhadap Ukraina, Stoltenberg menegaskan, setiap negara memiliki hak membela diri seperti tertuang dalam Piagam PBB. “Dukungan NATO untuk Ukraina adalah 110 persen atau benar-benar sejalan dengan kewajiban internasional kami. Dan Ukraina, tentu saja, memiliki hak membela diri,” ujarnya.

Dia menggarisbawahi NATO memberikan jaminan keamanan kepada negara-negara anggotanya. Namun Ukraina memang tak termasuk dalam pakta pertahanan tersebut. “Ukraina adalah mitra yang kami berikan dukungan dan kapasitas pelatihan,” ucap Stoltenberg.

Ketegangan masih berlangsung di wilayah perbatasan Rusia-Ukraina. Klaim tentang potensi Rusia melakukan invasi ke tetangganya kian merebak di Barat dan Ukraina sendiri. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan informasi tersebut tak berdasar. Dia menekankan, Moskow bukan ancaman untuk siapa pun.

Peskov pun memperingatkan bahwa upaya menyelesaikan krisis di tenggara Ukraina dengan kekerasan akan memiliki konsekuensi paling serius. Dia menegaskan, Rusia akan melakukan semua upaya yang mungkin untuk membantu Ukraina menyelesaikan konflik di Donbass sambil mengikuti Normandy Format dan Minsk Agreements.

Hubungan Ukraina dengan Rusia telah memanas sejak 2014, yakni ketika massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kerusuhan pun terjadi karena terdapat pula kelompok separatis pro-Rusia di sana. Belakangan kelompok pro-Rusia itu terlibat konfrontasi bersenjata dengan tentara Ukraina, terutama di Donbass. Pada 2015, Rusia dan Ukraina, bersama Prancis serta Jerman, menyepakati Minsk Agreements.

Salah satu poin dalam perjanjian itu adalah dilaksanakannya gencatan senjata total di wilayah timur Ukraina. Namun Moskow dianggap tak mematuhi dan memenuhi sepenuhnya perjanjian tersebut. Hal itu menyebabkan Rusia dijatuhi sanksi ekonomi oleh Uni Eropa. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement