Kamis 02 Dec 2021 17:55 WIB

Jaga Pertumbuhan E-Commerce, Biaya Logistik Harus Ditekan

Teknologi digital harus diimbangi dengan infrastruktur.

Ilustrasi pembayaran digital.
Foto: Www.freepik.com
Ilustrasi pembayaran digital.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia saat ini sudah berada dijalur pemulihan ekonomi. Walaupun sempat mengalami kontraksi ekonomi sebesar 2,1 persen pada 2020, namun saat ini Indonesia telah berhasil membukukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 15.434.2 triliun atau 1,059.6 miliar dollar Amerika Serikat.

Dari jumlah PDB tersebut, kebutuhan konsumsi rumah tangga merupakan kontributor utama, yang dipengaruhi oleh sektor perdagangan elektronik (e-commerce), yang berhasil membukukan nilai transaksi sebesar Rp 266,3 triliun atau sekitar 18 miliar dollar Amerika Serikat.

Baca Juga

Survei tahunan yang digelar oleh PricewaterhouseCoppers (PWC) di 2020 mengenai preferensi pelanggan menemukan kenaikan yang signifikan pada transaksi daring yang dilakukan melalui gawai sebesar 45 persen dan melalui laptop/komputer sebesar 41 persen.

Hanya saja, salah satu permasalahan yang timbul ditengah melejitnya era e-commerce saat ini adalah besaran ongkos pengiriman. Para pelanggan kerap mengeluhkan besarnya biaya pengiriman saat melakukan transaksi daring tersebut. 

Menanggapi hal tersebut, Asisten Deputi Bidang Industri Pendukung Infrastruktur pada Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Yohannes Yudi Prabangkara mengakui bahwa saat ini Indonesia masih mempunyai PR besar untuk bisa menurunkan biaya logistik agar semakin terjangkau. 

Yudi lantas mengutip survei yang dilakukan Bank Dunia pada 2018 mengenai performa logistik, yang menempatkan Indonesia di urutan ke 46, dari 160 negara, dengan skor 3.15, dengan 5 sebagai skor tertinggi. Biaya logistik tercatat sebagai yang tertinggi di ASEAN, mendekati 24 persen dari PDB.

“Biaya kirim komoditas dari Pulau Seram ke Surabaya sebesar Rp 60 juta per kontainer. Sementara, ongkos kirim dari Surabaya ke Cina hanya Rp 30 juta per kontainer. Ini butuh perhatian khusus,” ujar Yudi, seperti dalam keterangan resmi kepada republika.co.id, Kamis (2/12).

Pernyataan ini dibuatnya saat memberikan catatan pembuka pada webinar berjudul 'Percepatan Digitalisasi dari Sabang Sampai Merauke', yang merupakan bagian dari rangkaian acara Katadata Regional Summit 2021.

Oleh karena itu, Yudi menambahkan, pemerintah tengah melakukan sejumlah rencana aksi untuk memperbaiki kondisi. Ada sejumlah sektor yang tengah dibidik untuk dibenahi, diantaranya adalah, kepabeanan, kondisi infrastruktur, sistem pelacakan pengiriman barang, kemudahan pengiriman barang ke luar negeri dan tata kelola logistik. 

Dari sisi hukum, Yudi berujar bahwa dua buah aturan turunan dari UU Cipta Kerja, yaitu PP No.41/2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan PP No.10/2021 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Layanan Daerah telah dikeluarkan guna mengawal penegakan aturan yang diharapkan berujung pada efisiensi kerja dan biaya. 

“Dari sisi penguatan infrastruktur, pemerintah akan terus berusaha melengkapi berbagai kebutuhan infrastruktur yang diperlukan guna mendukung ekosistem logistik nasional,” ujarnya. 

Pemerintah, lanjut Yudi, hingga saat ini telah berhasil membangun, sebagian masih dalam taraf pembangunan, 54 ruas jalan tol, 13 pelabuhan, delapan bandara dan 15 jalur rel kereta, 37 jembatan udara di Papua. 

Dalam proyek ambisius tol laut, 32 trayek telah beroperasi dan melibatkan 106 pelabuhan, yang terdiri dari sembilan pelabuhan pangkal, 97 pelabuhan singgah.

Staf ahli bidang logistik, intermodal dan keselamatan pada Kementerian Perhubungan, Cris Kuntadi, yang juga hadir dalam diskusi, menambahkan bahwa pada prakteknya, jalur tol laut sering difungsikan dengan mengabaikan sisi keekonomian. 

“Kami pernah mengarahkan kapal untuk mengangkut beras dari Merauke menuju daerah- daerah terpencil di Papua. Kepentingan pendistribusian barang jadi perhatian utama,” ujarnya. 

Cris melihat bahwa salah satu masalah terbesar yang menghalangi turunnya ongkos logistik adalah ketimpangan supply dan demand antara Indonesia bagian barat dan timur. Ia melanjutkan, sering kapal berangkat dari Surabaya, yang menjadi pusat distribusi, ke arah Indonesia bagian timur dalam kondisi penuh, tapi pulangnya mereka tidak mengangkut apa-apa, yang tentu saja mengakibatkan bengkaknya ongkos kirim. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement